DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
A.
PERADILAN
1. Pengertian
Peradilan
2. Fungsi
Peradilan
3. Hikmah
Peradilan
B.
HAKIM
1. Pengertian
Hakim
2. Syarat-syarat
Menjadi Hakim
3. Tata
Cara Peradilan Menjatuhkan Hukum
4. Adab
Kesopanan / Etika Hakim
5. Adab
Kesopanan / Etika Hakim
6. Kedudukan
Hakim Wanita
C.
SAKSI
1. Pengertian
Saksi
2. Syarat-syarat
Saksi Yang Adil
3. Kesaksian
Tetangga dan Orang Buta
4. Sanksi
Terhadap Saksi Palsu
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan Agama telah hadir dalam
kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya agama Islam. Guna memenuhi
kebutuhan masyarakat muslim akan penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan
menegaskan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Dalam Al-Qur’an, Hadits Rasul dan ijtihad para ahli
hukum Islam, terdapat aturan-aturan hukum materiil sebagai pedoman hidup dan
aturan dalam hubungan antar manusia (muamalah) serta hukum formal
sebagai pedoman beracara di Peradilan Agama.
Dalam pembuatan makalah ini, masih banyak
terdapat kekurangannya, semua keputusan terletak ditangan Peradilan Islam
sehingga bukan Jabatan yang main-main karena orang yang menentukan suatu
keputusan.
Siswa dapat memenuhi, memahami dan menghayati
ajaran Islam tentang pemerintahan dan memperdomaninya dengan benar serta
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu makalah ini membahas
sedikit masalah Peradilan Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian, fungsi dan hikmah peradilan?
2.
Apa pengertian hakim?
3.
Apa saya syarat menjadi hakim?
4.
Bagaimana tata cara peradilan mejatuhkan hukuman?
5.
Bagaimana adab kesopanan seorang hakim?
6.
Bagaimana kedudukan hakim wanita dalam Islam?
7.
Apa pengertian dan syarat saksi?
8.
Bagaimana kesaksian tetangga dan orang buta?
9.
Apa sanksi terhadap saksi palsu?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.
Pengertian, fungsi dan hikmah peradilan
2.
Pengertian hakim
3.
Syarat menjadi hakim
4.
Tata cara peradilan mejatuhkan hukuman
5.
Adab kesopanan seorang hakim
6.
Kedudukan hakim wanita dalam Islam
7.
Pengertian dan syarat saksi
8.
Kesaksian tetangga dan orang buta
9.
Sanksi terhadap saksi palsu
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERADILAN
1.
Pengertian Peradilan
Peradilan berasal dari kata adilyang mendapat
imbuhan per- dan –an. Adil artinya “menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Jadi,
peradilan yang mendapat imbuhan per-an mengandung arti atau menunjukkan tempat,
maka peradilan berarti “tempat atau lembaga yang menempatkan sesuatu pada
tempatnya.” Alam hal ini peradilan lebih dikhususkan bergerak dalam masalah
perkara-perkara hukum. Karenanya peradilan berarti lembaga yang menempatkan
perkara-perkara hukum sesuai dengan tempatnya. Yang benar diputuskan benar, dan
yang salah diputuskan salah.
Untuk kata peradilan, didalam bahasa Arab
digunakan kata qadha’, jamaknya aqdhiya’ yang berarti,”memutuskan
perkara/perselisihan antara dua orang atau lebih berdasarkan hukum Allah.”
Qadha dapat pula diartikan, “Sesuat hukum antara manusia dengan kebenaran dan
hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah.” Para ahli fikih memberikan
definisi qadha sebagai keputusan produk pemerintah, atau menetapkan hukum
syari’ dengan jalan penetapan.
2.
Fungsi Peradilan
Lembaga peradilan bertugas menyelesaikan
persengkatan dan memutuskan hukum. Dengan peradilan Allah SWT, memelihara
keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat luas. Peradilan memberikan
keputusan didalam perkara yang nyata (konkrit) yang diembankan kepadanya untuk
diadili, sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan undang-undang.
Dengan demikian, landasan dari fungsi peradilan
adalah terpeliharanya kepastian hukum.
3.
Hikmah Peradilan
a)
Terciptanya keadilan dalam masyarakat karena
masyarakat memperoleh hak-haknya.
b)
Terciptanya perdamaian karena masyarakat
memperoleh kepastiannya hukumnya dan diantara masyarakat saling menghargai
hak-hak orang lain. Tidak ada yang berbuat semena-mena, karena semuanya telah
diatur oleh Undang-undang.
c)
Teriptanya kesejahteraan masyarakat.
d)
Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur,
bersih dan berwibawa
B. HAKIM
1.
Pengertian Hakim
Hakim adalah isim fa’il dari kata “hakama”,
yang artinyaorang yang menetapkan hukum atau memutuskan hukum atau suatu
perkara. Sedang menurut istilah, hakim adalah orang yang diangkat penguasa
untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan-persengkatan.
Selain kata hakim, digunakan pula istilah
qadhi, yang berarti orang yang memutuskan, mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara.
2.
Syarat-syarat Menjadi Hakim
a)
Muslim
Muslim merupakan syarat diperbolehkannya
persaksian seorang muslim, dan keahlian mengadili itu ada kaitannya dengan
keahlian menjadi saksi.
b)
Baligh
Baligh berarti dewasa , baik dewasa jasmani dan
rohaninya maupun dewasa dalam berpikir.
c)
Berakal
Berakal disini bukan sekedar “mukallaf”, tetapi
benar-benar sehat pikirannya, cerdas dan dapat memecahkan masalah.
d)
Adil
Adil disini berarti benar dalam berhujjah,
dapat menjaga amanah, bersikap jujur baik dalam keadaan marah atau suka, mampu
menjaga diri dari hawa nafsu dan perbuatan haram serta dapat mengendalikan
amarah.
e)
Mengetahui / undang-undang
f)
Sehat jasmani dan rohani
g)
Dapat membaca dan menulis.
3.
Tata Cara Peradilan Menjatuhkan Hukuman
a)
Didasarkan kepada hasil pemeriksaan perkara
didalam sidang peradilan. Kemudian para hakim mengambil kesimpulan dari
pemeriksaan tersebut, lalu menjatuhkan hukuman.
b)
Dari kondisi para hakim, bahwa mereka telah
melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur dan adab/kesopanan para hakim.
4.
Adab Kesopanan / Etika Hakim
a)
Hendaklah ia berkantor ditengah-tengah negeri,
ditempat yang diketahui orang dan dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat.
b)
Hendaklah ia menganggap sama terhadap
orang-orang yang berperkara.
c)
Jangan memeutuskan hukum dalam keadaan :
1)
Sedang marah
2)
Sedang sangat lapar dan haus
3)
Sedang sangat susah atau sangat gembira
4)
Sedang sakit
5)
Sedang menahan buang air yang sangat
6)
Mengantuk
Rasulullah SAW. Bersabda yang artinya :
“ Janganlah hakim
menghukum antara dua orang sewaktu ia marah.”(HR. Jamaah)
d)
Tidak boleh menerima pemberian dari orang-orang
yang sedang berperkara, yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang
ditangani.
e)
Hakim tidak boleh menunjukkan cara mendakwa dan
cara membela.
f)
Surat-surat kepada hakim yang lain diluar
wilayahnya, apabila surat itu berisi hukum hendaklah dipersaksikan kepada dua
orang saksi sehingga keduanya mengetahui isi surat tersebut.
5.
Kedudukan Hakim Wanita
Rasulullah SAW telah memberi petunjuk .
meskipun Rasulullah tidak melarangnya, namun ia telah mengisyarakatkan, sebaiknya
tidak mengangkat wanita menjadi hakim.
Kebanyakan jumhur ulama’ tidak membolehkan
wanita menjadi hakim. Pendapat ini dikemukakan oleh Madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali dan lain-lain.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan para
pengikutnya membolehkan wanita menjadi qadhi dalam segala urusan, kecuali “had
dan qishas”.
C. SAKSI
1.
Pengertian Saksi
Saksi atau al-shahadah yaitu orang yang
mengetahui atau melihat. Yaitu orang yang dimintakan hadir dalam suatu
persidangan untuk memberikan keterangan yang membenarkan atau menguatkan bahwa
peristiwa itu terjadi.
2.
Syarat-syarat Saksi Yang Adil
Adil adalah syarat mutlak bagi seorang saksi.
Allah SWT berfirman :
وَاَشْهِدُوْاذَوَى
عَدْلٍ مِنْكُمْ وَاَقِيْمُ ااشَّهَادَةَلِلَّهِ
Artinya: “ dan persaksikanlah dua orang saksi
yang adil diantara kamu.”
(QS. Al-Thalaq [65]:2)
Orang adil tersebut hendaknya mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut:
a)
Muslim
Orang bukan Muslim tidak diterima kesaksiannya
untuk orang Islam. Tetapi, Imam Abu Hanifah membolehkan orang kafir menjadi
saksi bagi orang Islam.
b)
Merdeka
Hamba sahaya tidak diterima menjadi saksi.
Karena saksi itu diserahi kekuasaan, sedangkan hamba sahaya tidak dapat
diserahi kekuasaan.
c)
Dapat berbicara
d)
Bukan usuh terdakwa
e)
Dhabit
Dalam arti kuat hafalan dari apa yang dilihat
maupun didengar, serta dapat memelihara yang dilihat atau didengarnya itu.
f)
Bukan orang fasik, penghianat/pezina.
3.
Kesaksian Tetangga dan Orang Buta
Kesaksian
seorang tetangga diperbolehkan dan dianggap sah selama memenuhi syarat-syarat
seorang saksi. Yang tidak boleh adalah suami memberikan saksi atas istri atau
sebaliknya, anak atas orang tuadan sebaliknya serta pembantu atas tuannya.
Demikian
halnya orang buta, menurut Imam Mailik dan Imam Ahmad boleh menjadi saksi asal
dia dapat mendengar suara. Jadi kesimpulannya, selama masih ada saksi yang lain
(yang tidak buta), sebaiknya saksi orang buta tidak diajukan dulu, kecuali
kalau memang keadaan sangat membutuhkan kesaksiannya.
4.
Sanksi Terhadap Saksi Palsu
Saksi
palsu itu dianggap sebagai dosa besar, karena dampak negatifnya yang sangat
luas. Dapat merugikan pihak-pihak tertentu, yang salah bisa bebas dari hukuman
dan yang benar bisa dihukum, akan tersebar fitnah di masyarakat dan lain-lain.
Sehingga persaksian palsu ini dosanya disamakan dengan dosa syirik dan durhaka
pada orang tua.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan
berasal dari kata adil yang mendapat imbuhan per- dan –an. Adil artinya
“menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Landasan dari fungsi peradilan adalah terpeliharanya
kepastian hukum. Hikmah peradilan adalah terciptanya keadilan dalam masyarakat,
terciptanya perdamaian, teriptanya kesejahteraan masyarakat dan
terwujudnya
aparatur pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa.
Hakim adalah isim fa’il dari kata “hakama”,
yang artinyaorang yang menetapkan hukum atau memutuskan hukum atau suatu
perkara. Syarat-syarat menjadi hakim adalah Muslim, baligh, berakal, adil,
mengetahui hukum/UU, sehat jasmani dan rohani dan dapat membaca dan menulis. Hakim tidak boleh memutuskan hukum dalam
keadaan Sedang marah, Sedang sangat lapar dan haus, Sedang sangat susah atau
sangat gembira, Sedang sakit, Sedang menahan buang air yang sangat, dan Mengantuk.
Rasulullah SAW. Bersabda yang artinya :
“ Janganlah hakim
menghukum antara dua orang sewaktu ia marah.”(HR. Jamaah)
Saksi atau al-shahadah yaitu orang yang
mengetahui atau melihat. Syarat-syarat saksi yang adil adalah Muslim,Dhabit, Merdeka,
bukan orang yang fasik/penghianat, dapat berbicara, bukan musuh terdakwa,
B. Saran
Proses
peradilan harus dilakukan secara adil tidak pandang bulu atau tebang pilih.
Yang memutuskan hukum dalam peradilan harus benar – benar paham mengenai hukum.
Dalam proses hukum atau peradilan hendaknya berdasar pada undang – undang dan
kemanusiaan sesuai dengan syari’at Allah agar menghasilkan putusan hukum yang
adil dan kemaslahatan bagi semuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Halim, M.S. Abdul, 2005. FIKIH Madrasah
Aliyah kelas tiga, Jakarta: PT. Listafariska Putra
Djunaedi, MS. Wawan, 2008. FIKIH untuk
Madrasah Aliyah kelas XI, Jakarta: PT. Listafariska Putra
http://prosesperadilan.blogspot.co.id/
http://id.netlog.com/memenahmadhusni/blog/blogid=22477
No comments:
Post a Comment