DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarekat
B. Tarekat Qodiriyah
1.
Sejarah Berdirinya Tarekat Qadiriyah
2.
Ciri Tarekat Qadiriyah
3.
Ajaran tarekat Qadiriyah
C.
Tarekat Maulawiyah
1.
Sejarah Terbentuknya Tarekat
Maulawiyah
2.
Ajaran Tarekat Maulawiyah
3.
Ciri Utama Tarekat Maulawiah
4.
Karya-Karya Tarekat Maulawiah
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam agama
Islam, banyak sekali aliran keagamaan yang berkembang, baik dalam bidang ilmu
kalam (theology) atau akidah, fiqh, tasawuf dan lainnya. Dibandingkan bidang
theologi (kalam) dan fiqh, aliran yang paling banyak berkembang adalah tasawuf.
Setidaknya, banyak cara umat Islam mendekatkan diri kepada Allah melalui pendekatan
olah spiritual (hati), khususnya tasawuf.
Dalam ilmu
tasawuf, salah satu upaya yang dikembangkan untuk Taqarrub Ilallah (mendekatkan
diri kepada Allah) adalah mengikuti tarekat. Kata Tarekat berasal dari bahasa
Arab, yakni thariqah, yang artinya jalan. Sedikitnya terdapat 42 tarekat
mu'tabarah (terkenal) di dunia. Mulai dari Tarekat Qadiriyah, maulawiyah,
Naqsabandiyah, Syadziliyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Khalwatiyah, Syattariyah,
Khalidiyah, Mufaridiyah, hingga Rifa'iyah.
Dalam makalah ini
penulis hanya memfokuskan pada pembahasan 2 tarekat yaitu tarekat Qodiriyah dan
tarekat Maulawiyah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah berdirinya tarekat Qadiriyah?
2.
Bagaimana ciri tarekat Qadiriyah?
3.
Apa saja Ajaran tarekat Qadiriyah?
4.
Bagaimana sejarah terbentuknya tarekat Maulawiyah
5.
Apa saja Ajaran tarekat Maulawiyah?
6.
Apa ciri utama tarekat Maulawiah?
7.
Apa saja karya-karya tarekat Maulawiah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.
Sejarah Berdirinya Tarekat Qadiriyah
2.
Ciri Tarekat Qadiriyah
3.
Ajaran tarekat Qadiriyah
4.
Sejarah Terbentuknya Tarekat Maulawiyah
5.
Ajaran Tarekat Maulawiyah
6.
Ciri Utama Tarekat Maulawiah
7.
Karya-Karya Tarekat Maulawiah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tarekat
Asal kata “tarekat” dalam bahasa arab
yaitu “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.
Menurut istilah tasawuf, tarekat
berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara
mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh
seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.
Menurut Syekh Amin al-Kurdi tarekat
ialah cara mengamalkan syariat dan menghayati inti syariat itu dan menjauhkan
diri dari hal-hal yang bisa melalaikan pelaksanaan dan inti serta tujuan
syariat.
B. Tarekat Qadiriyah
1.
Sejarah Berdirinya Tarekat Qadiriyah
Tarekat
Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir
Jailani. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi
salih Zangi Dost Al-Jailani (470 H/1077M – 561 H/1166 M) . Tarekat Qadiriyah
berkembang dan berpusat di Irak dan siria kemudian diikuti oleh jutaan umat
muslim yang terbesar di Yaman, Turki, Mesir, india, Afrika, dan Asia. Tarekat
ini sudah berkembang sejak abad ke-13 M. Sekalipun demikian, tarekat ini baru
terkenal di dunia pada abad ke-15 M. Di Mekah, tarekat Qadiriyah sudah berdiri
sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat
Qadiriyah dikenal luwes, yaitu apabila sudah mencapai derajat Syekh, murid
tidak mempunyai keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan, dia
berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal tersebut
tampak pada ungkapan Abdul Qadir jailani, “Bahwa murid yang sudah mencapai
derajat gurunya, dia menjadi mandiri sebagai Syekh dan Allah-lah yang menjadi
walinya untuk seterusnya.”
Karena
keluwesan tersebut, terdapat puluhan tarekat yang masuk ke dalam kategori
Qadiriyah di dunia Islam, seperti Banawa yang berkembang pada abad
ke-19,ghawtsiyah (1517), junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan
lain-lain, semuanya dari India. Di Turki, terdapat tarekat hindiyah,
khulusyiyah, dll. Di yaman, ada tarekat ahdaliyah, asadiyah, musyariyah. Adapun
di afrika, diantaranya terdapat tarekat ammariyah, bakka’iyah, dan sebaginya.
2.
Ciri Tarekat Qadiriyah
1.
Dzikir
bersama.
2.
Senantiasa
membacakan sajak dan qasidah diiringi musik rebana.
3.
Melakukan
dzikir Nafi wa itsbat, diiringi dengan rebana.
4.
Seluruh
badan ikut berdzikir.
5.
Adanya
adegan magic atau debus.
6.
Tunduk
dibawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh.
7.
Memisahkan
diri dari kecenderungan nafsu.
3.
Ajaran tarekat Qadiriyah
Ajaran
syekh Abb al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia.
Karena itu memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang
tertinggi. Adapun ajaran-ajaran tersebut adalah:
a.
Taubat
Taubat
adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus menerus dari
hati kemudian melaksanakan hak Tuhan.
Ibnu
‘abas ra. Berkata: “taubat al-nasuha adalah penyesalan dalam hatipermohonan
ampun dengan lisan, meninggalkan dengan anggota badan dan berniat tidak akan
mengulangi lagi”.
Menur syekh Abd Qadir
jailani, taubat ada dua macam, yaitu:
·
Taubat
yang berkaitan dengan hak sesama manusia.Taubat ini tidak terealisasi kecuali
dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak,
dan mengembalikan kepada pemiliknya.
·
Taubat
yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu
mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk
tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.
b.
Zuhud
Zuhud
secara bahasa berpaling darinya dan meninggalkannya karena menganggapnya hina
atau menjauhinya karena dosa. Sedangkan menurut istilah zuhud adalah merupakan
gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu
yang lebih baik darinya. Atau istilah lain, menghindari dunia karena tahu
kehianaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut ‘Abd
al-Qadi jailani, zuhud ada dua macam, yaitu:
·
Zuhud
hakiki yaitu mengeluarkan dunia dari hatinya. Hal ini bukan berarti bahwa
seseorang menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi di mengambilnya
lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.
·
Zuhud
lahir yaitu mengeluarkan dunia dari hadapannya. Berarti bahwa harus
menahan hawa nafsu (sesuatu yang kita sayangi) serta menolak semua tuntutannya.
c.
Tawakal
Tawakal
artinya berserah diri. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada
Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh terhadap
hukum dan takdir.
Syekh
‘Abd al-Qadir Jailani menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip sebuah
sabda Nabi,”bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka
Allah akan mengaruniakan apa saja yang diminta. Begitu juga sebaliknya, bila
dengan bulat ia mnyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan
dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka
semakin lupa dia akan akhirat, sebagai mana dinyatakan dalam sabda
Nabi,”Apabila ingatan manusia telah condong kepada dunia, maka ingatannya
kepada akhirat berkurang.”
d.
Syukur
Syukur
adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan,
tangan, maupun hati. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani hakikat syukur adalah
mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati
mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh pada syari’at-Nya.
Syekh
‘Abd al-Qadir Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, yaitu:
·
Syukur
dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal
ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati
dan ketundukkan.
·
Syukur
dengan badan atau anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian
serta melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini, si
penerima nikmat selalu berusaha mnjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala
larangan-Nya.
·
Syukur
dengan hati, yaitu beritikaf/berdian diri atas tikar Allah dengan senantiasa
menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat
mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.
e.
Sabar
Sabar
adalah tidak mengeluh karena musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada
Allah. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:
·
Bersabar
kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
·
Bersabar
bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya
terhadapmu dari berbagai macam kesuliatan dan musibah.
·
Bersabar
atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jaln keluar, kecukupan,
pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.
f.
Ridha
Ridha
adalah kebahagian hati dalam menerima ketetapan (takdir). ‘Abd al-Qadir
mengutip ayat al-qur’an tentang perlunya sikap ridha, “dengan mereka
menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat darinya, keridhaan dan syurga.
Mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal”.(At-Taubah: 21).
g.
Jujur
Jujur
menurut bahasa adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan.
Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntukan maupun yang tiadak menguntungkan.
Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntukan maupun yang tiadak menguntungkan.
C.
Tarekat Maulawiyah
1.
Sejarah Terbentuknya Tarekat
Maulawiyah
Maulawiyah berasal
dari kata “Maulana” artinya “guru kami” gelar yang diberikan
murid-murid kepada seorang “sufi penyair Persia terbesar sepanjang
masa” yang memiliki nama asli Jalal Al-Din Muhammad, yang kemudian
lebih dikenal dengan Maulana Jalal al-Din Rumi atau Rumi (w. 1273
M). Dengan demikian Tarekat Maulawiyah adalah tarekat yang didirikan
oleh Maulawi Jalaluddin Ar-Rumi, 15 tahun sebelum beliau meninggal di
Anatolia, Turki.
Maulana Rumi
merupakan sapaan akrab bagi Jalal Al-Din Muhammad, lahir di Kota Balkh
(Afganistan sekarang) pada tanggal 6 Rabi’ul Awal, tepatnya 30 September 1207,
dari sisi ayahnya ia merupakan keturunan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq,
sedangkan dari pihak ibunya mata rantai kekeluargaannya tersambung dengan Ali
bin Abi Tholib.
Keluarga Rumi
merupakan keluarga terpandang, satu bukti ialah ayahnya Baha'al-Din Walad
diangkat jadi pembimbing spiritual oleh Sulat Konya, bahkan Sultan tersebut
juga memberinya gelar kerhormatan "Sultan al-Ulama (rajanya para
ulama)". Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil posisi ayahnya sebagai
penasehat para ulama Konya serta pembimbing bagi murid-murid ayahnya, kurang
lebih satu tahun dari kematian ayahnya, atas anjuran gurunya Burhan al-Din Rumi
meneruskan pendidikannya di Aleppo dan mengunjungi beberapa madrasah yang
dibangun oleh al- Malik al-Zhahir. Dari sini Ia pindah ke Damaskus dan
mempunyai kesempatan emas untuk bercakap dengan tokoh-tokoh besar, seperti Muhy
al-Din bin 'Arabi, Sa'ad al-Din Al-Hamawi, Utsman Al-Rumi, Awhad al-Din bin
Arabi, dan Shadr al-Din al-Qunyawi. Pada tahun 1236 Rumi kembali ke Konya dan
menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan memberikan bimbingan spiritual sampai
gurunya meninggal dunia pada tahun 1241.
Selama
bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya yang tinggi dan menempati posisi
yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin. Tiba-tiba pada tahun 1244
seorang Darwisy misterius, Syams al-Din Tabrizi datang ke Konya dan menjumpai
Rumi. Perjumpaan ini telah mengubah Rumi dari seorang Teolog terkemuka menjadi
seorang penyair mistik yang sangat terkenal. Karena kuatnya pesona kepribadian
Syams, Rumi lebih memilih meninggalkan kegiatannya sebagai guru dan da'i
profesional untuk mengabdikan diri kepada Syams yang kini menjadi guru
spiritualnya, dan mereka tidak pernah berpisah dalam beberapa waktu untuk
memperkuat ikatannya. Tetapi keadaan ini membuat murid-murid Rumi marah dan
cemburu karena tidak mendapat bimbingan spiritual akibatnya mereka menyerang
Syams dengan kekerasan dan ancaman, sehingga ia meninggalkan Rumi menuju
Damaskus.
Perpisahan ini
dirasa menyakitkan oleh Rumi dan menghunjam perasaannya begitu mendalam, karena
itu ia mengutus anaknya sultan Walad untuk memohon Syams agar kembali ke Konya.
Rumi bahagia bisa jumpa lagi dengan sang guru, akibatnya apa yang telah terjadi
terulang kembali. Tentunya murid-murid Rumi menjadi lebih marah dan terus
menaruh kebencian pada Syams dengan lebih hebat dari sebelumnya. Situasi ini
mendorong Syams untuk mencari perlindungan ke Damaskus.
Sebagai tanda
cintanya kepada Tabrizi, Rumi menulis kumpulan puisi yang kemudian dikenal
dengan Divan-e Shams-e Tabrizi.
Kenapa aku harus
mencari?
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara
kepadaku
Yang kucari adalah
diriku sendiri!
Cinta dan
keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat lain. Sejumlah
tarekat saat itu lebih banyak berkonsentrasi untuk menyempurnakan diri menuju
insan kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru.
Penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujud) yang berkembang berabad-abad sebelum
Rumi di Baghdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang tidak
dipilih Rumi.
Sebagai seorang
seniman, Rumi memiliki cara sendiri dalam mencapai kesempurnaan dalam beragama
tanpa harus menjadi ekstrem (membangun pertentangan dengan syariat). Ia
memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan gitar (rebab) untuk mengiringi
dzikir-dzikirnya, cara ini kemudian dikenal dengan sema’ yang berarti
mendengar.
Setelah kembali ke
Konya, Rumi mendirikan Tarekatnya sendiri, kira-kira 15 tahun setelah itu kesehatan
Rumi menurun dan tak lama kemudian ia sakit. Akhirnya pada hari minggu tanggal
16 Desember 1273 Mawlana Rumi menghembuskan nafasnya yang terakhir di
kota Konya. Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau (Qubat-ul-Azra’) yang
bertuliskan “Saat kami meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi
carilah di hati manusia.” Namun ritual sema’ itu tak ikut mati. Para
pengikutnya, terutama anaknya, Sultan Veled Celebi, melembagakan ajaran itu
dalam tarekat bernama Mawlawiyah atau Mevleviye. Mungkin ini pulah yang menjadi
penyebab bagi Annemarie Shimmel menyimpulkan bahwa kita dapat dengan aman
mengatakan bahwa tidak ada penyair dan
mistik Islam lainnya yang dikenal demikian baik di Barat kecuali Rumi.
2.
Ajaran Tarekat Maulawiyah
Ajaran-ajaran Rumi,
pada dasarnya dapat dirangkum dalam triologi metafisik, yaitu Tuhan, Alam
dan Manusia
a.
Ajaran Maulana Rumi tentang Tuhan
Gagasan Rumi
terkait dengan persoalan ke-Tuhan-an terinspirasi dari pernyataan Al-Quran
sendiri yang menyatakan bahwa Tuhan adalah “Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir,
Yang Batin”. Tuhan “Yang Awal” bagi Rumi, berarti bahwa Ia adalah sumber yang
dari-Nya segala sesuatu berasal. Tuhan sebagai “Yang Akhir” diartikan sebagai
tempat kembali segala yang ada di dunia ini. Hal yang menarik dari Dia ialah
pandangannya tentang Tuhan itu sebagai keindahan sehingga menjadi tujuan dari
semua jiwa yang mencinta.
Tuhan sebagai
“Yang Lahir”, bagi Rumi dunia yang lahir adalah fenomena yang dibaliknya
terselip pesan akan realitas sejati, artinya bahwa dunia yang lahir merupakan
petunjuk bagi adanya yang batin karena keduanya adalah dua hal yang saling
terkait, maka dari itu Ia mempertegas bahwa tidak mungkin ada yang lahir tanpa
ada yang batin, dan yang lahir merupakan jalan menuju realitas yang tersembunyi
di dalamnya.
Dengan demikian,
Tuhan sebagai “Yang Batin”, adalah realitas yang lebih mendasar, sekalipun
untuk dapat memahaminya dibutuhkan mata lain yang lebih peka/tajam. Jadi tidak
semua orang dapat melihat kecantikan Tuhan yang tersembunyi di balik fenomena
alam. Kebanyakan kita adalah pemerhati fenomena dan karena itu tidak bisa
melihat keindahan batin yang tersembunyi di balik fenomena lahiriah alam.
b.
Konsep
Rumi tentang alam semesta
Menurut Rumi bahwa motif penciptaan
alam oleh Tuhan adalah cinta. Cintalah yang telah mendorong Tuhan mencipta
alam, sehingga cinta Tuhan merembas, sebagai napas Rahmani, kepada seluruh
partikel alam lalu menghidupkannya. Alam bukanlah benda mati, melainkan ia hidup dan berkembang, bahkan juga memiliki
kecerdasan, sehingga mampu mencintai dan dicintai, berkat sentuhan cinta Tuhan,
ia menjadi makhluk yang hidup, bergerak penuh energi kearah Tuhan sebagai yang
Maha baik dan Sempurnah. Dalam salah satu syairnya, Rumi
pernah menggambarkan hubungan langit dan bumi seperti sepasang suami-istri.
c.
Konsep
Rumi tentang manusia
Rumi memandang
manusia sebagai tujuan penciptaan alam, sehingga itu pula yang menjadi penyebab
kenapa kemudian manusia memiliki posisi yang sangat istimewa kaitannya dengan
alam maupun dengan Tuhan.
Kaitannya dengan Tuhan, manusia menempati posisi yang tinggi sebagai wakil-Nya
di muka bumi.
Hal lain yang
menarik dari Rumi kaitannya dengan manusia adalah sifat kebebasan memilih yang
merupakan prasayarat bagi perkembangan dan aktualitas diri manusia itu sendiri.
Menurutnya bahwa manusia lahir tidak dalam keadaan sempurna, tapi ia dibekali
dengan sejuta potensi dan untuk mengaktualkan hal tersebut manusia membutuhkan
kebebasan dalam memilih. Dengan kebebasan inilah manusia dapat mencapai titik
kesempurnaannya sebagai insan kamil. Tapi
dengan kebebasan ini pula, manusia memiliki resiko yang besar untuk mejadi
makhluk terendah, yaitu ketika dia menuruti hawa
nafsunya.
Selain itu,
Manusia juga memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu atau dengan kata lain
mampu memiliki ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia bertingkat-tingkat sesuai
dengan alat yang digunakan untuk tujuan itu. Ada pengetahuan indrawi,
pengetahuan yang didasarkan penalaran akal, dan pengetahuan melalui persepsi
spiritual (intuisi).
3.
Ciri Utama Tarekat Maulawiah
Kekhususan tarekat ini adalah
dakwah yang dikemas dengan cara menggunakan tarian-tarian yang disebut sama’
dalam bentuk tarian berputar, dan telah menjadi ciri khas dasar bagi
tarekatnya. Akibatnya, tarekat Rumi di Barat dikenal sebagai The Whirling
Darvish (Para Darwisy yang Berputar). Tarian suci ini dimainkan oleh para
Darwish (fuqara’) dalam pertemuan-pertemuan (majlis) sebagai
dukungan eksternal terhadap upacara-upacara (ritual mereka).
Sama’ dilembagakan Rumi
pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai, Syams al-Din
Tabrizi. Sejak saat itu Rumi menjadi sangat sensitif terhadap musik, sehingga
tempaan palu dari seorang pandai besi saja cukup untuk membuatnya menari dan
berpuisi.
Tahapan-tahapan
dalam sama’ terdiri dari dua bagian. Pertama, terdiri dari Naat (sebuah puisi
yang memuji Nabi Muhammad), improvisasi ney (seruling) atau taksim
dan “Lingkaran Sultan Walad”. Kedua,
terdiri dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Quran dan doa.
a.
Bagian
Pertama
1)
Naat,
semacam musik religius. Naat dalam
musik mawlawi disusun oleh Buhuriz Musthafa' Itri (1640-1712), tetapi puisinya
adalah puisi Rumi.
2)
Taksim, adalah sebuah improvisasi
terhadap setiap makam atau mode, yaitu konsep penciptaan musik yang menentukan
hubungan-hubungan nada, nada awal yang memiliki kontor dan pola-pola musik.
Bagian ini merupakan bagian yang sangat kreatif dari upacara Mawlawi.
3)
Lingkaran Sultan Walad, ini disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung
mawlana, sultan Walad. Selama putaran ini para darwisy yang ikut bagian dalam
putaran tari berjalan mengelilingi sang samahane (ruang upacara) tiga
kali dan menyapa satu sama lain di depan pos (lokasi tempat pemimpin tekke atau
pemimpin upacara berdiri). Dengan cara ini mereka menyampaikan
"rahasia" dari yang satu kepada yang lain.
b.
Bagian
kedua (empat salam), yaitu :
1)
Salam pertama, melodi panjang, irama yang digunakan
biasanya disebut putaran berjalan (Devri
Revan), bitnya adalah 14/8.
2)
Salam keduan, pola irama dari salam ini disebut
Evfer dan terdiri dari 9/8 bit.
3)
Salam ketiga, dibagi kedalam dua bagian yang
meliputi melodi dan irama. Bagian pertama disebut putaran (the cycle) bitnya
28/4 bagian kedua disebut yourk semai dan bitnya 6/8.
4)
Salam keempat, pola irama ini juga efver (9/8), yakni
irama lambat dan panjang untuk menurunkan elastasi sehingga sang darwisy bisa
konsentrasi kembali. Tiap-tiap salam dihubungkan melalui nyanyian, pada bagian
pertama dan kedua seleksi diambil dari Divan-Syams atau mastnawi, pada bagian
ketiga puisi mawlawi lain dinyanyikan.
Terkait dengan
musik instrumental setelah berakhirnya salam keempat berarti bagian oral
selesai “yuruk semai” kedua dalam pola 6/8 sekaligus akhir dari upacara. Dan
setelah seleksi instrumental ini terdapat lagi taksim seruling, yang juga
kadang dimainkan melalui alat musik petik (senar).
Setelah tahapan
musik selesai, seorang hafizh di antara para penyanyi membaca ayat-ayat
Alquran. Sama’ terus berlangsung sampai bacaan Alquran dimulai. Ketika hafizh
memulai bacaan Alqurannya maka para penari berhenti dan mundur ke pinggir lalu
duduk. Setelah selesai, pimpinan sama’ berdiri dan mulai berdo’a di depan syaikh, dan doa ini biasanya
ditujukan untuk kesehatan dan hidup sang Sultan atau para penguasa negara.
4.
Karya-Karya Tarekat Maulawiah
Ada beberapa karya-karya yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan dan popularitas Tarekat Maulawiyah, baik itu
yang ditulis oleh Rumi maupun para pengikutnya. Berikut adalah bagian dari yang dimaksudkan :
a.
Matsnawi al-Ma’nawi, atau Matsnawi Jalal al-Din Rumi sekaligus merupakan karya utama Rumi.
Kitab ini berisi syair panjang sekitar 25.000 untaian bait bersajak dan terbagi
ke dalam enam kitab. Karya monumnetal ini menyajikan ajaran-ajaran mistik Rumi
dengan indah dan kreatif melalui anekdot, hadits-hadits nabi, dongeng-dongeng
serta kutipan-kutipan dari Alquran.
b.
Rumi
juga menulis Ghazal (puisi cinta) yang
lebih dikenal sebagai Divan-i Syams-i Tabriz (Ode mistik Syams
Tabriz). Karya memukau ini dipersembahkan kepada guru tercintanya Syams al-Din
Tabriz, dan ditulis untuk mengenangnya. Dalam karya ini Rumi mengekspresikan
penghormatannya kepada Syams, yang namanya sering dikutip diakhir setiap bait.
Karya ini berisi 2500 ode mistik. Menurut Nasr karya ini mencakup juga beberapa
syair yang paling indah dan kaya dalam bahasa Persia, yang membicarakan fungsi
pembimbing spiritual dan hubungan antara guru dan murid.
c.
Fihi Ma Fihi, yang telah
diterjemahkan menjadi Discourse of Rumi atau
“Percakapan Rumi”. Karya prosa ini mencakup ucapan-ucapan Rumi yang ditulis
oleh putra sulungnya yang bernama Sultan Walad.
d.
Ruba’iyat, berisi 1600
kuatern orisinal dan al-Maktubat, berisikan 145 surat yang ditujukan
kepada para keluarga raja dan bangsawan di Konya.
e.
Manaqib al-‘Arifin (legends of
sufis), yang dikarang oleh seorang murid cucu Rumi, Chelibi Emir ‘Arif,
yang bernama Syams al-Din Ahmad Aflaki. Karya ini berisi biografi dan
anekdot-anekdot Rumi, dan tokoh-tokoh lain yang terkait dengan beliau dan
tarekat Maulawiyah. Oleh karena itu Manaqib
al-‘Arifin sangat penting sebagai sumber informasi baik bagi kehidupan Rumi
dan keluarganya, maupun bagi perkembangan Tarekat Maulawiyah itu sendiri.
BAB
III
KESIMPULAN
Tarekat berasal
bahasa arab yaitu “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis
pada sesuatu. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik
(pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan
yang harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh seseorang untuk dapat
mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.
Tarekat Qadiriyah
adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani. Nama
lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi salih Zangi Dost
Al-Jailani (470 H/1077M – 561 H/1166 M) . Tarekat Qadiriyah berkembang dan
berpusat di Irak dan siria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang
terbesar di Yaman, Turki, Mesir, india, Afrika, dan Asia. Ciri – ciri tarekat
ini diantaranya adalah Dzikir bersama, Senantiasa membacakan sajak dan qasidah
diiringi musik rebana, Melakukan dzikir Nafi wa itsbat diiringi dengan rebana, Seluruh
badan ikut berdzikir.dan lain – lain. Ajaran syekh Abb al-Qadir selalu
menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia.
Tarekat Maulawiyah
adalah tarekat yang didirikan oleh Maulawi Jalaluddin Ar-Rumi, 15 tahun sebelum
beliau meninggal di Anatolia, Turki. Maulawiyah berasal dari kata
“Maulana” artinya “guru kami” gelar yang diberikan oleh murid-murid
beliau. Ajaran-ajaran Rumi, dirangkum
dalam triologi metafisik, yaitu Tuhan, Alam dan Manusia.
Kekhususan tarekat
ini adalah dakwah yang dikemas dengan cara menggunakan tarian-tarian yang
disebut sama’ dalam bentuk tarian berputar, dan telah menjadi ciri khas dasar
bagi tarekatnya. Akibatnya, tarekat Rumi di Barat dikenal sebagai The Whirling
Darvish (Para Darwisy yang Berputar). Tarian suci ini dimainkan oleh para
Darwish (fuqara’) dalam pertemuan-pertemuan (majlis) sebagai dukungan eksternal
terhadap upacara-upacara (ritual mereka).
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment