DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan
C.
Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
B.
Bertasawuf dalam Dunia Modern
C.
Disorientasi Manusia Modern
D.
Penerapan Tasawuf dalam Kehidupan
Modern
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya masyarakat menginginkan perubahan dari
keadaaan tertentu ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai
kehidupan yang lebih maju dan makmur. Namun sering kali banyak orang
terjebak ke dalam kemajuan-kemajuan tersebut, sehingga orang pun kehilangan
jati diri dan terlantarnya kebutuhan spiritual sehingga mereka tidak tahu
posisi dan hubungannya dengan pencipta alam ini. Maka keberadaan tasawuf
sebagai refleksi pendekatan diri kepada sang pencipta semakin dibutuhkan dalam
masayarakat modern seperti yang sekarang ini.
Pandangan dunia sekuler yang hanya mementingkan kehidupan
duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan manusia modern dari segala aspek
spiritualitas, yang imbasnya pada mereka sendiri yakni mereka hidup secara
terisolir dari dunia-dunia lain yang sifatnya non-fisik, yang diyakini
keberadaannya oleh para sufi. Dari sini kita sebenarnya sudah bisa berfikir
dengan melihat keadaan yang ada sekarang ini, yang kebanyakan orang-orang saat
ini sudah terlampau jauh meninggalkan bahkan menjauh dari pemikiran para sufi
tersebut, dan cenderung menuruti hawa nafsu dan memuaskannya.
B.
Rumusan Masalah
Dari beberapa ungkapan-ungkapan yang tertera diatas, maka
timbul beberapa pertanyaan yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Apa arti bertasawuf dalam dunia modern?
2.
Apakah disorientasi manusia modern disebabkan oleh krisis
spiritual?
3.
Bagaimana penerapan konsep tasawuf dalam dunia modern?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui arti bertasawuf dalam dunia modern
2.
Mengetahui rientasi manusia modern disebabkan oleh krisis
spiritual
3.
Mengetahui an konsep tasawuf dalam dunia modern
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan
sebagai usaha untuk menyucikan hati sesuci mungkin dengan usaha mendekatkan
diri kepada Allah, sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar
dalam kehidupan. Ibnu Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat
bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyful-hijab (tersingkapnya tabir
antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi
di masa sesudahnya. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan
iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Beliau mengajarkan tentang
ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, dan tidak pernah
mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagai mana dilakukan oleh
agama sebelumnya.
1.
Secara Etimologi (Bahasa)
a)
Tasawuf berasal dari kata Shuffah, yaitu sebutan bagi orang
– orang yang hidup di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah SAW. di
sekitar Masjid Madinah, mereka ikut nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah.
Mereka hijrah dengan meninggalkan harta benda, mereka hidup miskin, mereka
bertawakal (berserah diri) dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur diatas bangku yang
terbuat dari batu dan berbantalkan pelana kuda yang disebut suffah. Mereka
Ahlus-Suffah walaupun miskin, tapi berhati dan berakhlak mulia, ini merupakan
sebagian dari sifat-sifat kaum sufi.
b)
Tasawuf juga berasal dari kata Shafa’ (suci bersih), yaitu
sekelompok orang yang berusaha menyucikan hati dan jiwanya karena Allah. Sufi
berarti orang – orang yang hati dan jiwanya suci bersih dan disinari cahaya
hikmah, tauhid, dan hatinya terus bersatu dengan Allah SWT.
c)
Tasawuf juga berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba
atau wol). Mereka di sebut sufi karena memakai kain yang terbuat dari bulu
domba. Pakaian yang menjadi ciri khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu
bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar, itulah
lambang dari kesederhanaan. Berbeda dengan orang-orang kaya saat itu yang
kebanyakan memakai kain sutra.
2.
Secara Teminologi (isthilah)
Imam Junaidi al-Baghdadi berpendapat :
“Tasawuf adalah membersihkan hati dari yang selain Allah, berjuang memadamkan
semua ajakan yang berasal dari hawa nafsu, mementingkan kehidupan yang lebih
kekal, menyebarkan nasihat kepada umat manusia, dan mengikuti contoh Rasulullah
SAW dalam segala hal.
Dari segi bahasa dan istilah, kita
dapat memahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan umat
manusia dan selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia
menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, ber-taqarrub dan
ber-musyahadah dengan Allah SWT.
B.
Bertasawuf dalam Dunia Modern
Bertasawuf adalah upaya
melatih jiwa dan mental dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya
dari pengaruh dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan
Allah SWT, dengan kata lain, tasawuf adalah kegiatan yang berhubungan dengan
pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Bertasawuf bukanlah sesuatu yang tabu untuk dilakukan sebab
selama ini masyarakat menganggap ilmu tasawuf hanya dipakai oleh orang-orang
pilihan. Masyarakat menganggap tasawuf tidak berguna untuk kehidupannya, karena
tasawuf yang mereka artikan adalah menjahui
dunia untuk mendekatkan diri dengan tuhan, padahal dunia memang dibutuhkan oleh
orang yang bertasawuf sebagai jembatan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Di dalam kehidupan masayarakat modern, terutama
masyarakat perkotaan saat ini, bertasawuf sebenarnya diperlukan oleh mereka,
hanya saja mereka menganggap tasawuf tidak penting dalam hidupnya.
Pentingnya tasawuf dalam kehidupan masayarakat adalah sebagai penyeimbang
kehidupan karena berdasarkan realita yang ada, kehidupan masyarakat perkotaan
sudah diwarnai oleh bermacam-macam perilaku yang diakibatkan oleh
penyalahgunaan kemajuan teknologi dan kesibukan aktifitas. Yang imbasnya
bisa kita lihat langsung dalam kehidupan nyata karena bertasawuf dianggap tidak
perlu sebab tidak memberikan keuntungan dalam kehidupan mereka yang kebanyakan
bersifat materialistik, hanya memikirkan kesenangan duniawi dan yang menjadi
pertimbangannya hanya apakah hal tersebut memberikan keuntungan atau tidak
baginya, dan sebaliknya.
Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat
modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya
hubungan antara anggota masyarakat tersebut berdasar atas prinsip-prinsip
materialistik. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan
dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler,
dan materialis ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya.
Berkaitan dengan keadaan tersebut, Sayyid Hosein Nasr
menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu
pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya
sendiri. Masyarakat yang demikian merupakan masyarakat yang telah kehilangan
visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak
dijumpai orang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.
C.
Disorientasi Manusia Modern
Krisis spiritual yang telah banyak diungkapkan sebelumnya
pada gilirannya telah menimbulkan apa yang disebut dengan
“disorientasi” pada manusia modern. Ketika kita mengatakan “orientasi”,
ini tentu mengandung arti “memberi arah”, dan dengan demikian orientasi
tidak bisa tidak, kecuali mengandaikan adanya arah dan tujuan. Tidak mungkin
kita bisa mengorientasi diri kita, kecuali kita telah mengetahui tujuan, ke
arah mana kita akan berjalan. Kata “disorientasi” yang merupakan negasi
dari orientasi, karena itu akan terjadi ketika kita tidak tahu lagi arah, mau
kemana kita pergi, bahkan juga dari mana kita berasal. Maka jika kita coba
kaitkan dengan keadaan yang dialami kebanyakan orang-orang modern, yang hanya
membatasi dirinya pada dunia fisik, maka mereka tidak akan dapat
mengorientasikan diri mereka sendiri dengan benar, dan hanya akan berputar-putar
tanpa arah di dunia yang senantiasa berubah dan akan musnah kelak ini.
Kondisi yang selanjutnya akan muncul antara lain adalah
adanya perasaan terasing/teralienasi baik dari diri sendiri, alam sekitar, dan
Tuhan pencipta alam. Sulit nampaknya bagi manusia modern untuk mengenal
diri mereka yang sejati. Ketika manusia hanya mementingkan aspek dari dirinya,
padahal menurut para sufi, mereka itu mempunyai aspek/dimensi spiritual, maka
kegoncangan dan ketidakstabilan jiwanya tidak sulit untuk dibayangkan. Mungkin
lebih jelasnya bisa kita contohkan pada diri kita sendiri, kita umpamakan diri
kita ini sebagai manusia modern dengan kriteria negatif seperti yang telah
diungkapkan di atas, dalam hal thaharah/ bersuci, kalau dalam agama islam
sendiri kan sudah dijelaskan mengenai batasan-batasan dalam thaharah. Tetapi
kalau melihat kebanyakan dari manusia modern itu malah cenderung hanya
membersihkan tubuh mereka semata, dan lupa untuk membersihkan kotoran-kotoran
jiwa mereka, maka tak sulit untuk menjawab mengapa orang-orang modern banyak
mengalami goncangan dan penyakit jiwa. Maka stres dan penyakit hati, iri,
dengki, hipertensi pun telah menjadi penyakit yang sangat umum diderita manusia
modern.
D.
Penerapan Tasawuf dalam Kehidupan
Modern
Seseorang bisa dikatakan bertasawuf jika mengetahui
langkah-langkah menjadi seorang sufi, tentu sebagian besar anggapan orang-orang
modern mengatakan sulit dalam hal penerapan / aplikasinya dalam kehidupan
sehari-harinya. Berikut akan coba kami uraikan beberapa aplikasi tasawuf yang
setidaknya bisa kita jadikan sebagai langkah awal / kiat mengenal diri kita ini
untuk kebaikan hidup ke depannya, tentunya juga berdasar dengan sumber
referensi yang ada. Yakni sebagai berikut:
1.
Zuhud
Secara
bahasa adalah bertapa di dunia, adapun secara istilah yaitu bersedia untuk
melakukan ibadah, dengan berupaya semaksimal mingkin menjahui urusan duniawi
dan hanya mengharapkan kerihdoan Allah SWT. Dan zuhud dalam aplikasinya dalam
kehidupan ini ternyata mampu melahirkan suatu maqam dan cara hidup yang
kebanyakan oleh ahli tasawuf dikatakan sebagai sesuatu yang telah dicapai
setelah maqam taubah, karena orang yang benar-benar zuhud pastinya telah
meninggalkan symbol-symbol duniawi dengan pandangan hidup di dunia tak lebih
hanya sebatas permainan, mampir ngombe, canda gurau dan sebagai ladang
beribadah.
Pengertian zuhud
secara lebih luas, zuhud sebenarnya bukan meninggalkan kehidupan dunia secara
keseluruhan, melainkan tetap mencari penghidupan duniawi, akan tetapi hanya
sebatas untuk memenuhi keperluan hidup ala kadarnya, mereka bekerja dengan niat
untuk menafkahi keluarga, yang merupakan kewajiban seorang suami atas anak dan
istrinya, dan itu semua hanya untuk mencari ridlo-Nya, agar kelak besok lepas
dari pertanggung jawaban di akhirat. Dengan kata lain, zuhud merupakan upaya
penyeimbangan kehidupan akhirat dan dunia.
Dalam
Al-Qur’an sendiri juga telah menyinggung konsep dalam aplikasi zuhud, coba
perhatikan QS. Al-An’am (6):32 berikut.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari
main-maindan sendau gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang bertaqwa; tidakkah kamu memahaminya?”
Diperkuat
juga dengan sabda Nabi pada matan hadits berikut:
اَلزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا تُرِيْحُ اْلقَلْبَ وَالْبَدَنَ
, وَالرُّغْبَةُ فِى الدَّنْيَا تُكْثِرُ اْلهَمَّ وَالْحَزْنَ .
“Berzuhud
di dunia, menyamankan hati dan badan, sedangkan kegemaran akan dunia,
memperbanyak kesedihan dan kegundahan.”
Selain
itu terdapat perintah untuk berzuhud pula dalam matan hadist nabi:
اِزْهَدْ لِلّهِ فِى الدُّنْيَا يُحْبِبْكَ اللهُ.
“Berzuhudlah di dunia wahai hamba Allah, niscaya Allah akan
mencintaimu.”
Pengertian
zuhud secara lebih luas, zuhud sebenarnya bukan meninggalkan kehidupan dunia
secara keseluruhan, melainkan tetap mencari penghidupan duniawi, akan tetapi
hanya sebatas untuk memenuhi keperluan hidup ala kadarnya, mereka
bekerja dengan niat untuk menafkahi keluarga, yang merupakan kewajiban seorang
suami atas anak dan istrinya, dan itu semua hanya untuk mencari ridlo-Nya, agar
kelak besok lepas dari pertanggung jawaban di akhirat. Dengan kata lain, zuhud
merupakan upaya penyeimbangan kehidupan akhirat dan dunia.
2.
Tawakkal
Tawakal
adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan
kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun
akhirat. Seperti yang terdapat dalam QS. Ath-Thalaq (65) : 3 yang berbunyi:
“Barangsiapa
bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya”
Beliau
Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
لَوْتَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ
كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُوْا خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا.
“
Sekiranya kamu bertawakkal kepada Allah SWT, dengan sebenar-benarnya tawakkal,
niscaya Dia memberi kamu rizki seperti Dia memberinya kepada kawanan burung yang
berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pulang di sore hari
dalam keadaan kenyang.
Jadi
pada dasarnya inti dari aplikasi kita yang kedua ini adalah kesadaran hati
bahwa segala sesuatu berada di tangan Allah SWT, yang bermanfaat ataupun yang
bermudharat, yang menyenangkan maupun menyusahkan. Mewujudkan tawakkal bukan
berarti meniadakan usaha (ikhtiyar), karena Allah telah memerintahkan
hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakkal, yakni berusaha dengan
seluruh anggota badaan dan bertawakkal dengan hati merupakan perwujudan iman
kepada Allah.
3.
Ikhlas
Ikhlas
menurut KH. Ahmad Rifa’i didefinisikan sebagai berikut: ikhlas secara bahasa
adalah bersih, sedangkan menurut istilah adlah membersihkan hati agar ia menuju
kepada Allah semata dalam melaksanakan ibadah, dan hati tidak boleh menuju
selain kepada Allah. Maka dapat kita tarik persepsi bahwa ikhlas sendiri
inilah yang menunjukkan kesucian hati untuk menuju hanya kepada Allah, karena
apa, karena Allah tidak menerima ibadah seorang hamba kecuali dengan niat
ikhlas karena Allah semata dan perbuatan itu haruslah sah dan benar menurut
syari’ah islam.
Dalam
Al-Qur’an telah disebutkan beberapa dalil tentang anjuran ikhlas, yang antara
lain adalah QS. Al-An’am (6):162-163.
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku,
ibadahku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. 163: Tiada
sekutu bagiNya:dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
4.
Qona’ah dan Sabar
Qona’ah
diartikan sebagai kepuasan jiwa seberapa pun rezeki yang
dimilikinya, sedikit maupun banyak, diterima dengan penuh rasa syukur. Dengan
demikian sikap Qona’ah itu bisa terwujud dengan cara menemukan kecukupan di
dalam apa yang dimiliki dan tidak menginginkan apa yang tidak dimilikinya
tersebut.
Di
dalam QS. Al-Baqarah (2): 172 menyebutkan bahwa
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadaNya kamu
menyembah.”
Kemudian
yang selanjutnya adalah Sabar, yang diartikan sebagaiketeguhan hati
dalam menghadapi kesulitan hidup. Dalam perjalanan hidup, senang dan susah
datang silih berganti. Seperti dalam QS. Al-Baqarah (2):155
“Dan sesungguhnya akan kami berikan percobaan
yang sedikit kepada kamu, seperti ketakutan, kelaparan, kekurangan harta jiwa
dan buah2han. Kemudian sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang
sabar.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang sedikit banyak telah disampaikan
diatas, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
d)
Bertasawuf adalah upaya melatih jiwa dan mental dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh dunia, sehingga
tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT, dengan kata lain,
tasawuf adalah kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar
selalu dekat dengan Tuhan.
e)
Disorientasi manusia modern disebabkan oleh krisis spiritual
yang diakibatkan oleh manusianya itu sendiri karena beberapa faktor, teknologi,
budaya, faktor fisik dan lainnya. Yang selanjutnya akan muncul antara lain
adalah adanya perasaan terasing / teralienasi baik dari diri sendiri, alam
sekitar dan tuhan pencipta Alam.
f)
Aplikasi tasawuf dalam kehidupan yang serba modern yang
berhasil kami angkat dalam tema pada pertemuan kali ini adalah terdiri dari 4
aplikasi, yakni dimulai dari Zuhud, Tawakkal, Ikhlas, serta Qona’ah dan Sabar.
B.
Saran-saran
Kami menyakini bahwa dalam penulisan dan penyusunan makalah
ini masih terdapat banyak sekali kekurangan karena murni berasal dari
kelemahan, kekurangan serta keterbatasan kami dalam mencari sumber referensi
dan menyajikan kepada pembaca semua. Maka dari itu kritik dan saran dari
saudara/i pembaca yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan untuk bahan
koreksi dan pembenahan kami selanjutnya. Terima kasih atas partisipasinya,
tanpa mengurangi rasa hormat kami sampaikan banyak Terima Kasih. Wassalamu
‘Alaikum.Wr.Wb
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadhi
Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. Penerbit Erlangga. Jakarta.
2006. hlm. 265
Sayyid
Abdullah. Thariqah Menuju Kebahagiaan. Penerbit Mizan. Bandung.
1998. hlm. 258-259
No comments:
Post a Comment