DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Sunni
B. Tokoh – tokoh
Tasawuf Sunni dan Ajarannya
1.
Muhy al-Din Ibn `Araby
2.
Imam Al Ghazali
3.
Rabiyatul Adawiyah
4.
Hasan Al-Bashri
5.
Al-Hallaj
6.
Abu Yazid al-Bustami
7.
Zun Nun Al-Misri
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu aspek asoterik Islam,
sekaligus sebagai perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung
antara seorang hamba dan Tuhannya. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan
langsung dengan Tuhan. Sementara itu, intisarinya adalah kesadaran akan adanya
komunikasi rohaniah antara manusian dan Tuhan melalui kontemplasi. Dengan
bertasawuf, seseorang akan menjadi bersih hati dan jiwanya, berarti pula ia
akan dibimbing oleh cahaya Ilahi.di dalam ajaran Tasawuf pun terdapat beberapa
tokoh yang terkemuka. Dimana tokoh-tokoh tersebut juga memiliki ajaran Tasawuf
nya masing-masing.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Tasawuf Sunni?
2.
Siapa saja Tokoh – tokoh Tasawuf Sunni?
3.
Apa saja ajaran tokoh – tokoh tasawuf Sunni?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah
ini bertujuan untuk mengtahui:
1.
Pengertian Tasawuf Sunni
2.
Tokoh – tokoh Tasawuf Sunni
3.
Ajaran tokoh – tokoh tasawuf Sunni
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah aliran tasawuf
yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi
interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa shalat As Shalihin
dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana
cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya
ibadah yang mereka lakukan.
Aliran tasawuf ini memiliki ciri
yang paling utama yaitukekuatan dan kekhusyukannya beribadah
kepada Allah, ẓikrullah serta konsekuen dalam
sikap walaupun mereka
diserang dengan segala
godaan kehidupan duniawi.
Corak tasawuf ini muncul
dikarenakan ketegangan-ketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal
maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama baik para fuqaha maupun mutakallimin.
Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian
tokoh sufi melakukan usaha-usaha untuk mengembalikan citra tasawuf. Usaha ini
memperoleh kesempurnaan ditangan al-Ghazāli,
yang kemudian melahirkan Tasawuf Sunni. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa
asketisme (zuhud) itu adalah cikal bakal timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme
itu sendiri sumbernya adalah ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an,
sunnah maupun kehidupan sahabat Nabi.
B.
Tokoh – tokoh Tasawuf
Sunni dan Ajarannya
1.
Muhy al-Din Ibn `Araby
Nama
lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Tha’i al
Haitami. Beliau lahir pada tahun 560 H. (1163 M) di Murcia, Andalusia Tenggara,
Spanyol. Dari keluarga yang berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Tahun 620 H, ia
tinggal di Hijaz dan meninggal disana pada tahun 638 H.
Pada
usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota
kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini ia menerima
pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan
mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf.
Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi
Spanyol, ia tinggal dan menetap disana selama 30 tahun.
Diantara
karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makkiyah yang ditulis pada tahun 1201
tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman
Al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan dan kepintarann
seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi di persia. Karya lainnya,
sebagaimana dilaporkan oleh Muolvi, adalah Masyahid Al-Ashar,
Mathali’Al-Anwar Al-Ilahiyyah, Hilyat Al-Abdal, Kimiya’ As-Sa’adat, Muhadharat
Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasail Al-Ilahiyyah, dan beberapa
karya lainnya.
Ajaran
Tasawuf Ibn ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut
ajarannya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn
Taimiyah, tokoh yang paling keras dan mengecam dan mengkritik ajaran
sentral tersebut setidak-tidaknya, Ibn Taimiyah yang telah berjasa dalam
memopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Menurut
Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut
penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud mengatakan
bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh
Khaliq juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk.
Menurut
Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada
hakikatnya adalah wujud Khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari
segi hakikat. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah
adalah hakikat alam. Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam.
Menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam
tidak mempunyai wujud sebenarnnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat
tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan. Ketika Allah menciptakan alam ini, ia
juga memberikan sifat-sifat ketuhan pada segala sesuatu. Alam ini seperti
cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah
menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu.
Dari
konsep wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi, muncul lagi dua konsep yang sekaligus
merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu konsep
al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
2.
Imam Al Ghazali
Imam
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad bin Muhammad
bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali, secara singkat dipanggil Al-Ghazali
karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun
450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di
Bagdad.
Ayah
Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi
ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang
wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada
seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraya berkata dalam
wasiatnya: “Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap
mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini). Sang sufi
menjalankan isi wasiat itu dengan cara medidik dan mengajar keduanya.
Selanjutnya sufi menitipkan keduanya di
madrasah untuk belajar sekaligus menyambung hidup mereka. Di madrasah tersebut,
Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian
ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia berguru
kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh,
filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan. Imam Al Ghozali termasuk penulis
yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan
mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :
Maqhasid
al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi
masalah-masalah filsafah. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para
filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa
keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf
dengan keras. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).
Ihya’
ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya
yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara
Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan
filsafat. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini
merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan
merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.
Al-ma’arif
al-aqliyah (pengetahuan yang nasional). Miskyat al anwar (lampu yang bersinar),
kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf. Minhaj al abidin (jalan
mengabdikan diri terhadap tuhan). Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam
aqidah).
Ajaran tasawuf Al-Ghazali, tasawuf sunni yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal
Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan yang
mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan
Ash-Shafa dan lain-lainnya. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk
berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai kepada makrifat yang membantu
menciptakan (Sa’adah).
3.
Rabiyatul Adawiyah
Nama
lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al-Adawiyah al-Basariyah,
juga digelari Umm al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut Rabi’ah
karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa
kanak-kanaknya dia telah hafal al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup
sederhana.Ajaran pokok yang terpenting dari sufi wanita
ini
adalah al-mahabbah.
Menurut
menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb
dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf.
Hal
ini ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh
kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada
masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang
pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari
syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Menurut
Rabi’ah, cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta sehingga ia tidak
bersedia mambagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku
kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu
ia ditanyai tentang cintanya kepada Rasulullah saw, ia menjawab: “Sebenarnya
aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah
melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas
lagi olehnya lagi melalui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung
kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan
murka”. Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia
rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
Dalam
riwayat yang lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rabi’ah al-Adawiyah
berkeluh-kesah sakit. Dan beberapa sufi menjenguknya, dan Rabiah mengira bahwa
sakitnya itu dikarenakan ghirrah atau kecemburuan Allah kepadanya, karena hati
Rabiah pada saat itu tertarik akan surga.
4.
Hasan Al-Bashri
Nama
lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di Madinah pada tahun
terakhir dari kekhalifaan Umar bin Khattab pada tahun 21 H.
Keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan wasith.
Kemudian mereka pindah ke Madinah. Hasan Al-Bashri terkenal dengan
keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah
secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Ia dikenal sebagai seorang
yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karyanya
berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir
Al-Qur’an.
Ajaran
Tasawuf Hasan Basri Abu Nain Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan
Al-Bashri sebagai berikut, “ takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan
dirundung kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu
mengingat Allah. “pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap
orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata,
“demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya
dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri). Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan
sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini.
a)
Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik
dari pada rasa tentran yang menimbulkan perasaan takut.
b)
Dunia adalah negeri tempat beramal.barang siapa bertemu dunia
dengan perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah
darinya. Namun,barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan
hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan
penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”
c)
“tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengerjakannya. Menyesal ataas perbuatan jahat menyebabkan kita
bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyakya
tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap
negeri yang cepat ating dan pergi serta penuh tipuan.”
d)
“dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan
beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.”
e)
“orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi
dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut ; takut mengenang dosa
yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya
yang akan mengancam.”
f)
“hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”Banyak
duka cita didunia memperteguh semangat amal saleh.”
5.
Al-Hallaj
Al-Hallaj
ini memiliki nama lengkap Husein bin Mansur al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H
atau 858 M di salah satu kota kecil Persia, yakni kota Baidha. Masa kecilnya ia
habiskan di kota Wasit dekat dengan Bagdad sampai usia 16 tahun. Diusia 16 ini
ia mulai meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada seorang Sufi besar
dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz.
Kemudian
setelah belajar di negri Ahwaz ia pergi ke Bashrah dan belajar kepada Amr
al-Makki. pada tahun 264 H. ia melanjutkan belajarnya kepada al-Junaid di kota
Baghdad yang merupakan seorang sufi besar pula. Selain besar keinginannya
mempelajari ilmu kepada tokoh-tokoh sufi besar dan terkenal, ia juga telah
menunaikan ibadah haji sebanyak tiga kali. Dari sini jelas tidak diragukan
bahwa pengetahuan tentang ajaran-ajaran tasawuf tidak diragukan.
Ketika
tiba di makkah pada tahun 897 M, ia memutuskan mencari jalan sendiri untuk
bersatu dengan Tuhan, pada tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj tealah
memulai
pemikiran-pemikirannya tentang bagaiman menyatu dengan Tuhan. Namun setelah
ia menemukan cara bersatu dengan Tuhan dan menyampaikan ajaranya kepada orang
lain, ia justru dianggap sebagai orang gila, bahkan diancam oleh pengusa Mekah
untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman tersebut membawanya untuk kembali ke
Baghdad.
Dalam perjalanan
hidupnya yang dihiasi
buah hasil pemikiran-pemikirannya di bidang tasawuf, ia
sering keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih, konflik tersebut
dipicu oleh pikiran-pikiran al-Hallaj yang dianggap ganjil. Ulama fikih yang
sangat besar pengaruhnya karena fatwanya untuk memberantas dan membantah
ajaran-ajaran al-Hallaj. sehingga ia ditangkap dan dipenjara adalah Ibn Daud
al-Isfahani. Tetapi setelah satu tahun dalam pejara, ia dapat meloloskan diri
atas bantuan seorang sipir penjara.
Untuk
mencari pengamanan atas dirinya, dari Bagdad ia melarikan diri ke Sus, suatu
wilayah yang terletak di Ahwaz. Kurang lebih empat tahun bersembunyi di kota
tersebut, dan tetap tidak mengubah pendiriannya tentang ajaran-ajarannya,
akhirnya ia ditangkap kembali dan dipenjarakan selama delapan tahun.
Meskipun
telah lama hidup dalam penjara, tidak sedikitpun terkurangi pendiriannya atas ajaran-ajarannya
tersebut. Sehingga pada tahun 309 H/921 M mengharuskan para ulama di bawah
pengawasan kerajaan Bani Abbas, masa Khalifah Mu’tashim Billah, untuk
mengadakan persidangan yang menghasilkan hukumam
mati pada al-Hallaj
pada tanggal 18 Ẓulhijjah
di tahun yang sama.
Pokok
dari ajaran al-ḥulul adalah pertama, diri manusia tidak hancur, kedua ada dua
wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Helbert W.
Mason berpendapat al-hulul
adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan.
Akan tetapi, dalam kesimpulannya, konsep hulul al-Hallaj bersifat majazi, tidak
dalam pengertian yang sebanarnya. Menurutt Nashiruddin at-Thusiy, al-hulul
adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam
tubuh itu dilenyapkan.
Sesungguhnya Allah
SWT, memilih jasad-jasad
(tertentu) dan menempatkannya
dengan makna ketuhanan setelah menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan. Menurut
filsafat al-Hallaj, Allah SWT., mempunyai dua
alam atau sifat
dasar, yaitu al-lahut
(ketuhanan) dan an-nasut
(kemanusiaan). Demikian
pula manusia, disamping
memiliki sifat kemanusiaan, ia
juga mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya.
Selanjutnya,
dalam menguraikan kesatuan al-lahut dan an-nasut atau antara roh ilahiyah dan
roh insaniyah, al-Hallaj menggunakan istilah al-hulul dalam pengertian islam.
Dalam
menafsirkan ayat tentang penciptaan Adam, menurut al-Hallaj, manusia juga
memiliki sifat ketuhanan. Pendapat al-Hallaj ini juga dipertegas dengan ayat
al-Qur’an :
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: «Sujudlah kamu
kepada Adam,» Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir”.(QS. Al-Baqarah, 2:34)
Menurutnya, ayat
tersebut menjelaskan bahwa
Allah telah memerintahkan kepada
para Malaikat untuk bersujud kepada Adam, karena pada diri Adam Allah telah
bersemayam. Keyakinan bahwa Allah telah bersemayam dalam diri Adam ini juga
didasari dari sebuah hadis
yang
sangat berpengaruh di kaangan Sufi, yakni : “Tuhan menciptakan Adam sesuai
dengan bentuk-Nya”.
Dari
ayat dan hadist tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia
memiliki sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusian (nasut). Jika sifat
ketuhanan yang ada pada diri manusia dapat bersatu dengan sifat kemanusian pada
diri Tuhan, maka terjadilah Hulul, numun untuk mencapai pada tingkatan
tersebut, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanya
melalui proses al-fana
6.
Abu Yazid al-Bustami
Abu
Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H – 261
H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin
Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang
menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah seorang
tokoh masyarakat di Bustam.
Keluarga
Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih
hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah
mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan
memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan
kehalalannya.
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid
terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti
perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan
suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan
kepada
kedua orang tuamu” ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian
berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibunya, sikapnya ini menggambarkan
bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan
Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan
dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih
dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali
as-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu
Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku
Dalam perjalanan
kehidupan Zuhud, selama
13 tahun, Abu
Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur,
makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu
Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang yang taat dan
zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal
sebagaimana Abu Yazid.
Abu
Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil
kehidupannya sudah dikenal
saleh. Ibunya secara
teratur mengirimnya ke masjid
untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke
berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab Hanafi. Setelah itu, ia
memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan
memasuki dunia tasawuf.
Abu
Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqā`
dalam tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia
sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena
ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan pada iter
agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.
Abu Yazid
pernah berkata: “Kalau
kamu lihat seseorang
sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia
sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat
bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas
syari`at.
Dalam
perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis
syara` tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pul
akata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari
mulut beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan
bahwa hamba dan tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang
dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan.
Abu
Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di
usia 73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai sekarang.
Ajaran
tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqā`. Secara harfiah fana`
berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut
biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala
sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu. Sedangkan dari segi bahasa
kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti
musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya
diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur.
7.
Zun Nun Al-Misri
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri
al-Akhimini Qibṭy. Ia dilahirkan di
Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah
keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih banyak orang yang belum
mengungkapkan masalah ini.
Namun
demikian telah disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang
terkenal dan terkemuka diantara sufi-sufi lainnya pada abad 3 Hijriah.
Sebagai
seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama Hadits dan Fikih
memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal yang menarik
keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup
sensitif barangkali yang menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak sampai di
situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang menuduhnya
sebagai orang yang zindiq, sampai pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk
sementara waktu pergi dari negerinya dan berkelana ke negeri lain. Namun
sekembalinya dari perkelanaan tersebut, orang banyak tetap menuduhnya sebagai
seorang yang zindiq. Bahkan orang-orang menyuruhnya untuk pergi ke Baghdad
menemui khalifah untuk menerima pengadilan. Akan tetapi di Baghdad ada banyak
sufi yang berasal dari Mesir dan diantara mereka ada yang bekerja di lingkungan
istana, dan merekalah yang mengusahakan kebebasan Zun Nun tersebut.
Ternyata
kemudian ajarannya diterima di Baghdad. Sekembalinya di Mesir, ia kembali
mengjarkan ajaran tasawufnya dan semenjak itu pula tasawuf berkembang dengan
pesat di kawasan mesir.
Jasa-jasa
Zun Nun yang paling besar adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang
perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat. Ajarannya memberi
petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi.
Disamping
itu, dia juga pelopor doktrin al-ma'rifah. Dalam hal ini ia membedakan antara
pengetahuan dengan keyakinan.
Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil pengamatan inderawi, yaitu apa
yang ia dapat diterima melalui panca indera. Sedangkan keyakinan adalah hasil
dari apa yang dipikirkan dan / atau diperoleh melalui intuisi.
Dia
membagi tiga kualitas pengetahuan, yaitu:
a)
Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya,
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.
b)
Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti dan
pendemonstrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orangyang bijak,
pintar dan terpelajar.
c)
Pengetahuan tentang sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini
merupakan milik orang-orang yang sholeh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah
Allah dengan mata hatinya.
Ketika
Zun Nun ditanya tentang bagaimana ia mengenal Tuhan, maka dia menjawab: “Aku
mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena Tuhan, aku tidak akan
mengenal Tuhan”
Zun Nun
menerangkan, bahwa ciri-ciri
ma'rifat itu ialah
seseorang menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allah dan
memutuskan segala sesuatu itu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi
segala sesuatu hanya semata-mata karena Allah.
Zun
Nun al-Mishri berkata, “Al-Ḥikmah
tidak akan pernah tinggal pada seseorang yang pada perutnya penuh dengan
makanan.” Pernah juga ditanya tentang taubat, lalu dijawab, “Taubat orang awam
adalah taubat dari perbuatan dosa, sedangkan tobat orang khusus adalah taubat
dari kelengahan.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Tasawuf Sunni adalah aliran tasawuf
yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi
interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa shalat As Shalihin
dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana
cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya
ibadah yang mereka lakukan.
Adapun diantara tokoh – tokoh Tasawuf Sunni adalah:
1.
Hasan Basri
Ajaran Tasawuf Hasan
Basri Abu Nain Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri
sebagai berikut, “ takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung
kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat
Allah. “pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
2.
Rabi’ah al-Adawiyah
Menurut menurut banyak
pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan
pengertian yang khas tasawuf. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya
dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan
kalimat-kalimat puitis
3.
Dzun Nun al-Misri
Peletak dasar tentang
jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat. Ajarannya memberi
petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi.
4.
Imam Al Ghazali
Ajaran tasawuf
Al-Ghazali, tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah
dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah.
5.
Abu Yazid al-Bustami
Ajaran tasawuf
terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqā`. Secara harfiah fana` berarti
meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya
digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu,
melupakan atau tidak menyadari sesuatu.
6.
Al Hallaj
Pokok dari ajaran
al-ḥulul adalah pertama, diri manusia tidak hancur, kedua ada dua wujud,
tetapi bersatu dalam satu tubuh.
7.
Muhy al-Din Ibn `Araby
Ajaran Tasawuf Ibn
‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pendidikan Madrasah, Buku Siswa Akhlak pendekatan saintifik Kurikulum
2013 Kelas XI Peminatan Agama. Jakarta : Kementrian Agama RI, 2015
No comments:
Post a Comment