Saturday, April 11, 2020

Tokoh - Tokoh Tasawuf Sunni dan Ajarannya



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
      B.     Rumusan Masalah
      C.    Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Tasawuf Sunni
      B.     Tokoh – tokoh Tasawuf  Sunni dan Ajarannya
1.      Muhy al-Din Ibn `Araby
2.      Imam Al Ghazali
3.      Rabiyatul Adawiyah
4.      Hasan Al-Bashri
5.      Al-Hallaj
6.      Abu Yazid al-Bustami
7.      Zun Nun Al-Misri
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu aspek asoterik Islam, sekaligus sebagai perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung antara seorang hamba dan Tuhannya. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Sementara itu, intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusian dan Tuhan melalui kontemplasi. Dengan bertasawuf, seseorang akan menjadi bersih hati dan jiwanya, berarti pula ia akan dibimbing oleh cahaya Ilahi.di dalam ajaran Tasawuf pun terdapat beberapa tokoh yang terkemuka. Dimana tokoh-tokoh tersebut juga memiliki ajaran Tasawuf nya masing-masing.
B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian Tasawuf Sunni?
2.         Siapa saja Tokoh – tokoh Tasawuf Sunni?
3.         Apa saja ajaran tokoh – tokoh tasawuf Sunni?

C.      Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengtahui:
1.         Pengertian Tasawuf Sunni
2.         Tokoh – tokoh Tasawuf Sunni
3.         Ajaran tokoh – tokoh tasawuf Sunni


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa shalat As Shalihin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan.
Aliran tasawuf ini memiliki ciri yang paling utama yaitukekuatan  dan  kekhusyukannya  beribadah  kepada  Allah,  ikrullah  serta konsekuen  dalam  sikap  walaupun  mereka  diserang  dengan  segala  godaan kehidupan duniawi.
Corak tasawuf ini muncul dikarenakan ketegangan-ketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan usaha-usaha untuk mengembalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan ditangan al-Ghazāli,  yang  kemudian  melahirkan Tasawuf  Sunni. Ada  pendapat  yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah cikal bakal timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya adalah ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah maupun kehidupan sahabat Nabi.
B.       Tokoh – tokoh Tasawuf  Sunni dan Ajarannya
1.         Muhy al-Din Ibn `Araby
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Tha’i al Haitami. Beliau lahir pada tahun 560 H. (1163 M) di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol. Dari keluarga yang berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal disana pada tahun 638 H.
Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini ia  menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf. Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol,  ia tinggal dan menetap disana selama 30 tahun.
Diantara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makkiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan dan kepintarann seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi di persia. Karya lainnya, sebagaimana dilaporkan oleh Muolvi, adalah Masyahid Al-Ashar, Mathali’Al-Anwar Al-Ilahiyyah, Hilyat Al-Abdal, Kimiya’ As-Sa’adat, Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasail Al-Ilahiyyah, dan beberapa karya lainnya.
Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajarannya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn  Taimiyah, tokoh yang paling keras dan mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut setidak-tidaknya, Ibn Taimiyah yang telah berjasa dalam memopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khaliq juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah  dan Allah adalah hakikat alam. Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam. Menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud sebenarnnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan. Ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat  ketuhan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu.
Dari konsep wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi, muncul lagi dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
2.         Imam Al Ghazali
Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali, secara singkat dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Bagdad.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraya berkata dalam wasiatnya: “Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini). Sang sufi menjalankan isi wasiat itu dengan cara medidik dan mengajar keduanya.
 Selanjutnya sufi menitipkan keduanya di madrasah untuk belajar sekaligus menyambung hidup mereka. Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan. Imam Al Ghozali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :
Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).
Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.
Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang nasional). Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan). Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).
 Ajaran tasawuf Al-Ghazali, tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa dan lain-lainnya. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai kepada makrifat yang membantu menciptakan (Sa’adah).
3.         Rabiyatul Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al-Adawiyah al-Basariyah, juga digelari Umm al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut Rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.Ajaran pokok yang terpenting dari sufi wanita
ini adalah al-mahabbah.
Menurut menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf.
Hal ini ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Menurut Rabi’ah, cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta sehingga ia tidak bersedia mambagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepada Rasulullah saw, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi melalui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”. Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rabi’ah al-Adawiyah berkeluh-kesah sakit. Dan beberapa sufi menjenguknya, dan Rabiah mengira bahwa sakitnya itu dikarenakan ghirrah atau kecemburuan Allah kepadanya, karena hati Rabiah pada saat itu tertarik akan surga.
4.          Hasan Al-Bashri
Nama lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di Madinah pada tahun terakhir dari kekhalifaan  Umar bin Khattab  pada tahun 21 H. Keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan wasith. Kemudian mereka  pindah ke Madinah. Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Ia dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karyanya  berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Ajaran Tasawuf Hasan Basri Abu Nain Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, “ takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah. “pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata, “demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri). Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini.
a)         Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentran yang menimbulkan perasaan takut.
b)        Dunia adalah negeri tempat beramal.barang siapa bertemu dunia dengan perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun,barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”
c)         “tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk   mengerjakannya. Menyesal ataas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyakya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat ating dan pergi serta penuh tipuan.”
d)        “dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.”
e)         “orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut ; takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
f)         “hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal saleh.”
5.        Al-Hallaj
Al-Hallaj ini memiliki nama lengkap Husein bin Mansur al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H atau 858 M di salah satu kota kecil Persia, yakni kota Baidha. Masa kecilnya ia habiskan di kota Wasit dekat dengan Bagdad sampai usia 16 tahun. Diusia 16 ini ia mulai meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada seorang Sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz.
Kemudian setelah belajar di negri Ahwaz ia pergi ke Bashrah dan belajar kepada Amr al-Makki. pada tahun 264 H. ia melanjutkan belajarnya kepada al-Junaid di kota Baghdad yang merupakan seorang sufi besar pula. Selain besar keinginannya mempelajari ilmu kepada tokoh-tokoh sufi besar dan terkenal, ia juga telah menunaikan ibadah haji sebanyak tiga kali. Dari sini jelas tidak diragukan bahwa pengetahuan tentang ajaran-ajaran tasawuf tidak diragukan.
Ketika tiba di makkah pada tahun 897 M, ia memutuskan mencari jalan sendiri untuk bersatu dengan Tuhan, pada tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj  tealah  memulai  pemikiran-pemikirannya  tentang  bagaiman menyatu dengan Tuhan. Namun setelah ia menemukan cara bersatu dengan Tuhan dan menyampaikan ajaranya kepada orang lain, ia justru dianggap sebagai orang gila, bahkan diancam oleh pengusa Mekah untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman tersebut membawanya untuk kembali ke Baghdad.
Dalam  perjalanan  hidupnya  yang  dihiasi  buah  hasil  pemikiran-pemikirannya di bidang tasawuf, ia sering keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih, konflik tersebut dipicu oleh pikiran-pikiran al-Hallaj yang dianggap ganjil. Ulama fikih yang sangat besar pengaruhnya karena fatwanya untuk memberantas dan membantah ajaran-ajaran al-Hallaj. sehingga ia ditangkap dan dipenjara adalah Ibn Daud al-Isfahani. Tetapi setelah satu tahun dalam pejara, ia dapat meloloskan diri atas bantuan seorang sipir penjara.
Untuk mencari pengamanan atas dirinya, dari Bagdad ia melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Kurang lebih empat tahun bersembunyi di kota tersebut, dan tetap tidak mengubah pendiriannya tentang ajaran-ajarannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dipenjarakan selama delapan tahun.
Meskipun telah lama hidup dalam penjara, tidak sedikitpun terkurangi pendiriannya atas ajaran-ajarannya tersebut. Sehingga pada tahun 309 H/921 M mengharuskan para ulama di bawah pengawasan kerajaan Bani Abbas, masa Khalifah Mu’tashim Billah, untuk mengadakan persidangan yang  menghasilkan  hukumam  mati  pada  al-Hallaj  pada  tanggal  18 ulhijjah di tahun yang sama.
Pokok dari ajaran al-ḥulul adalah pertama, diri manusia tidak hancur, kedua ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Helbert  W.  Mason  berpendapat  al-hulul  adalah  penyatuan  sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Akan tetapi, dalam kesimpulannya, konsep hulul al-Hallaj bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sebanarnya. Menurutt Nashiruddin at-Thusiy, al-hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan.
Sesungguhnya  Allah  SWT,  memilih  jasad-jasad  (tertentu)  dan menempatkannya dengan makna ketuhanan setelah menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan. Menurut filsafat al-Hallaj, Allah SWT., mempunyai dua  alam  atau  sifat  dasar,  yaitu  al-lahut  (ketuhanan)  dan  an-nasut
(kemanusiaan).  Demikian  pula  manusia,  disamping  memiliki  sifat kemanusiaan, ia juga mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya.
Selanjutnya, dalam menguraikan kesatuan al-lahut dan an-nasut atau antara roh ilahiyah dan roh insaniyah, al-Hallaj menggunakan istilah al-hulul dalam pengertian islam.
Dalam menafsirkan ayat tentang penciptaan Adam, menurut al-Hallaj, manusia juga memiliki sifat ketuhanan. Pendapat al-Hallaj ini juga dipertegas dengan ayat al-Qur’an :
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: «Sujudlah kamu kepada Adam,» Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir”.(QS. Al-Baqarah, 2:34)
Menurutnya,  ayat  tersebut  menjelaskan  bahwa  Allah  telah memerintahkan kepada para Malaikat untuk bersujud kepada Adam, karena pada diri Adam Allah telah bersemayam. Keyakinan bahwa Allah telah bersemayam dalam diri Adam ini juga didasari dari sebuah hadis
yang sangat berpengaruh di kaangan Sufi, yakni : “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Dari ayat dan hadist tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia memiliki sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusian (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia dapat bersatu dengan sifat kemanusian pada diri Tuhan, maka terjadilah Hulul, numun untuk mencapai pada tingkatan tersebut, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanya melalui proses al-fana
6.        Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H – 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
 Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan
kepada kedua orang tuamu” ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibunya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali as-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku
Dalam  perjalanan  kehidupan  Zuhud,  selama  13  tahun,  Abu  Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya  sudah  dikenal  saleh.  Ibunya  secara  teratur  mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab Hanafi. Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf.
Abu Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqā` dalam tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.
Abu  Yazid  pernah  berkata:  “Kalau  kamu  lihat  seseorang  sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at.
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pul akata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan.
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia 73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai sekarang.
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqā`. Secara harfiah fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu. Sedangkan dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur.
7.        Zun Nun Al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri al-Akhimini Qiby. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih banyak orang yang belum mengungkapkan masalah ini.
Namun demikian telah disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang terkenal dan terkemuka diantara sufi-sufi lainnya pada abad 3 Hijriah.
Sebagai seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama Hadits dan Fikih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal yang menarik keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitif barangkali yang menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang menuduhnya sebagai orang yang zindiq, sampai pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk sementara waktu pergi dari negerinya dan berkelana ke negeri lain. Namun sekembalinya dari perkelanaan tersebut, orang banyak tetap menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Bahkan orang-orang menyuruhnya untuk pergi ke Baghdad menemui khalifah untuk menerima pengadilan. Akan tetapi di Baghdad ada banyak sufi yang berasal dari Mesir dan diantara mereka ada yang bekerja di lingkungan istana, dan merekalah yang mengusahakan kebebasan Zun Nun tersebut.
Ternyata kemudian ajarannya diterima di Baghdad. Sekembalinya di Mesir, ia kembali mengjarkan ajaran tasawufnya dan semenjak itu pula tasawuf berkembang dengan pesat di kawasan mesir.
Jasa-jasa Zun Nun yang paling besar adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat. Ajarannya memberi petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi.
Disamping itu, dia juga pelopor doktrin al-ma'rifah. Dalam hal ini ia membedakan antara pengetahuan dengan keyakinan.  Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil pengamatan inderawi, yaitu apa yang ia dapat diterima melalui panca indera. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang dipikirkan dan / atau diperoleh melalui intuisi.
Dia membagi tiga kualitas pengetahuan, yaitu:
a)         Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.
b)        Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti dan pendemonstrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orangyang bijak, pintar dan terpelajar.
c)         Pengetahuan tentang sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik orang-orang yang sholeh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata hatinya.
Ketika Zun Nun ditanya tentang bagaimana ia mengenal Tuhan, maka dia menjawab: “Aku mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena Tuhan, aku tidak akan mengenal Tuhan”
Zun  Nun  menerangkan,  bahwa  ciri-ciri  ma'rifat  itu  ialah  seseorang menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allah dan memutuskan segala sesuatu itu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi segala sesuatu hanya semata-mata karena Allah.
Zun Nun al-Mishri berkata, “Al-ikmah tidak akan pernah tinggal pada seseorang yang pada perutnya penuh dengan makanan.” Pernah juga ditanya tentang taubat, lalu dijawab, “Taubat orang awam adalah taubat dari perbuatan dosa, sedangkan tobat orang khusus adalah taubat dari kelengahan.”




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:

Tasawuf Sunni adalah aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa shalat As Shalihin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan.
Adapun diantara tokoh – tokoh Tasawuf Sunni adalah:
1.        Hasan Basri
Ajaran Tasawuf Hasan Basri Abu Nain Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, “ takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah. “pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
2.        Rabi’ah al-Adawiyah
Menurut menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis
3.        Dzun Nun al-Misri
Peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat. Ajarannya memberi petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi.
4.        Imam Al Ghazali
Ajaran tasawuf Al-Ghazali, tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah.
5.        Abu Yazid al-Bustami
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqā`. Secara harfiah fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.
6.        Al Hallaj
Pokok dari ajaran al-ḥulul adalah pertama, diri manusia tidak hancur, kedua ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
7.        Muhy al-Din Ibn `Araby
Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud).



DAFTAR PUSTAKA



Direktorat Pendidikan Madrasah, Buku Siswa Akhlak pendekatan saintifik Kurikulum 2013 Kelas XI Peminatan Agama. Jakarta : Kementrian Agama  RI, 2015

No comments:

Post a Comment