Tuesday, January 28, 2020

Fiqih : Perekonomian dalam Islam (Syirkah, Mudharabah, Murahabah, Salam)

PENDAHULUAN



Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau
melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam makalah ini, akan mencoba membahas hal – hal yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam islam khususnya mengenai syirkah, mudhorobah, murobahah dan salam.
Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan pelaksanaan syirkah?
2.      Bagaimana pengertian dan pelaksanaan Mudhorobah?
3.      Bagaimana pengertian dan pelaksanaan Murobahah?
4.      Bagaimana pengertian dan pelaksanaan salam ?
Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui tentang syirkah
2.      Untuk mengetahui apa itu mudhorobah
3.      Untuk mengetahui murobahah
4.      Untuk mengetahui tentang salam




PEMBAHASAN
Syirkah, Mudharabah, Murabahah, dan Salam


A.      Syirkah
1.         Pengertian Syirkah dalam Islam
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih hingga tidak dapat dibedakan lagi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
2.         Rukun dan Syarat Syirkah Secara garis besar,
 Terdapat tiga rukun syirkah sebagai berikut.
1.             Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Persyaratan orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
2.             Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun persyaratan pekerjaan atau benda yang boleh dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan
3.             Akad atau yang disebut juga dengan istilah shigat. Adapun syarat sah akad harus berupa tasharruf, yaitu harus adanya aktivitas pengelolaan.
3.         Macam-Macam Syirkah
1.             Syirkah ‘Inan Syirkah ‘inan
Pengertian Syirkah dalam Islam adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah dalam Islam hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat. Contoh syirkah ‘inan dapat kita cermati sebagai berikut :
Fahmi dan Syahmi adalah sarjana-sarjana teknik informatika. Fahmi dan Syahmi bersepakat menjalankan bisnis jasa perancangan dan pembangunan sistem informasi untuk organisasi-organisasi pemerintahan atau swasta. Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar Rp20 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara barang seperti rumah atau kendaraan yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan yang dilakukan sebelumnya dan kerugian ditanggung oleh masing-masing syarik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing-masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
2.             Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa memberikan kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) maupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal. Contoh Syirkah ‘abdan :
Udin dan Imam sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: Udin mendapatkan sebesar 60% dan Imam sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian antara keduanya, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah diatur sebelumnya, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha).
3.             Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh merupakan kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan adanya pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal). Contoh Syirkah wujuh :
Andri dan Rangga adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu Andri dan Rangga bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. Andri dan Rangga bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujuh ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.
4.             Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di atas. Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufawadhah, atau ditanggung oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujuh. Contoh Syirkah mufawadhah :
Adha adalah pemodal, berkontribusi modal kepada Fahmi dan Syahmi. Kemudian, Fahmi dan Syahmi juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada Fahmi dan Syahmi. Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika Fahmi dan Syahmi sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja. Namun, ketika Adha memberikan modal kepada Fahmi dan Syahmi, berarti di antara mereka bertiga terwujud mudharabah. Di sini Adha sebagai pemodal, sedangkan Fahmi dan Syahmi sebagai pengelola. Ketika Fahmi dan Syahmi sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inan di antara Fahmi dan Syahmi. Ketika Fahmi dan Syahmi membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara Fahmi dan Syahmi. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufawadhah.
B.       Mudharabah
Murabahah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
1.         Tipe mudharabah
a)        Mudharabah mutlaqah, dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
b)        Mudharabah muqayyadah, dimana praktik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha, dan sebagainya.
2.         Keistimewaan mudharabah
a)        Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi resiko.
·           Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
·           Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
b)                      Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.
3.         Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya
Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:
dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah…
Dan surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:
Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani).
4.         Rukun dan Syarat mudharabah
Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :
1.        Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )
2.        Modal, pekerjaan, dan keuntungan
3.        Shigat ( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a.       Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b.       Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya, (3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu.
c.       Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Atas dasar syarat – syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu, sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.
5.         Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable. Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
   Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai berikut :
1.        Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
2.        Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama profitable.
3.        Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.
C.      Murabahah
1.         Pengertian Murabahah
Apa itu Murabahah? Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
     Penjualan dapat dilakukan secara tunai atau kredit , jika secara kredit harus dipisahkan antara keuntungan dan harga perolehan .Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang akad , kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut akan dianggap sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi harus dianggap sebagai pengurang piutang
2.         Jenis Murabahah
a.              Murabahah Berdasarkan Pesanan (Murabahah to the purcase order)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat  bahwa apabila telah memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut .
b.             Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh penjual
3.         Rukun dan Syarat Murabahah
a.              Pengertian Rukun Murabahah
Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan terdebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis.
 Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual (Ba'I'),orang yang membeli(Musytari),Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.       
b.             Syarat Murabahah
-          Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela)
-          Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
-          Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.
4.         Dasar hukum Murabahah
Dalam islam,perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai moral,sehingga semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat islami.
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela diantaramu. . . . ." (QS.4:29)
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS.2:275)
·    Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)
5.         Ketentuan Umum Murabahah
a.              Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.
b.             Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli..
c.              ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah
d.             dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
e.              transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah.[18]
D.      Salam
1.         Pengertian Salam
As-Salam dinamai juga As-salaf ialah suatu akad jual beli antara dua orang atau lebih dan barang yang akan dijual belum ada wujudnya tetapi ciri-ciri atau kriterianya, baik kualitas dan kuantitasnya, besar dan kecilnya, timbangannya, dan lain sebagainya telah disepakati. Sedang pembayarannya dilakukan pada saat terjadi transaksi. Misalny: seperti si A memesan sebuah almari pakaian kepada si B, dengan ukuran, kualitas kayu, warna cat, telah ditentukan. Si B menerima pesanan si A dengan harga tertentu dan pembayarannya dilakukan oleh si A secara kontan pada saat terjadinya transaksi.
Dengan demikian, salam merupakan jual beli pesanan dari calon pembeli dengan pembayaran kontan dan hutang bagi calon penjual, karena barangnya baru berupa pesanan dan akan diserahkan sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw., bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَدِمَ النَّبِيُّ . ص . م . اَلْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ نَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ اَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ اِلَى اَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah dan orang-orang (Madinah) meminjamkan buah-buahan satu tahun dan dua tahun, maka beliau bersabda: “Bagi siapa yang meminjamkan (mengutangkan) buah-buahan, maka hendaklah ia mengutangkan dengan takaran dan timbangan yang jelas dan sampai batas waktu yang jelas”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas oleh para ulama dijadikan dasar kebolehan jual beli salam.
2.         Rukun dan syarat Salam
a.         Rukun Salam
1)        Penjual (muslam ‘alaih)
2)        Pembeli (muslam atau rabbus salam)
3)        Barang (muslam fih) dan harga atau modal (ra’sul mal)
4)        Sigat (akad)
b.        Syarat-syarat Salam
1)        Uang hendaknya dibayar pada saat terjadi transaksi atau di majlis akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
2)        Barang menjadi utang atau tanggungan penjual dan diberikan kepada pembeli sesuai dengan kesepakatan, baik mengenai waktunya maupun tempatnya.
3)        Barang itu hendaknya jelas kriterianya, baik ukuran, kualitas, jenis, timbangan dan lain sebagainya sesuai dengan jenis barang yang dijual. Dengan kriteria tersebut dapat dibedakan antara satu barang dengan barang lain, sehingga tidak terdapat keraguan yang dapat menyebabkan perselisihan antara keduanya (penjual dan pembeli).
3.         Hukum Jual Beli Salam
Para ulama sepakat bahwa jual beli salam hukumnya boleh selama rukun dan syaratnya terpenuhi dan tidak terjadi garar (penipuan). Dasar hukum yang dijadikan pegangan selain nas seperti telah disebutkan di atas adalah bahwa jual beli salam mengandung unsur-unsur kemaslahatan dan hikmah yang dibutuhkan oleh manusia.
4.         Hikmah Salam
Diantara hikmah jual beli salam adalah:
a.         Terpenuhinya kebutuhan. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dengan orang lain. Ada di antara mereka, misalnya si A mempunyai cukup uang tetapi tidak memiliki barang yang dia perlukan. Sementara ada orang lain, misalnya si B memiliki kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan si A namun tidak mempunyai modal untuk mewujudkannya. Dalam keadaan seperti ini, si A memesan barang yang ia perlukan, dan si B, dengan modal yang ia terima bekerja untuk memenuhi permintaan si A. Dengan demikian, kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.
b.        Adanya asas tolong-menolong. Dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing seperti digambarkan di atas, berarti si A telah menolong si B sehingga dia bekerja dan memanfaatkan keahliannya, si B menolong si A karena dia telah memenuhi kebutuhan si A. Asas tolong-menolong ini merupakan cari manusia sebagai makhaluk sosial dan sangat dianjurkan oleh agama.



BAB III
KESIMPULAN




Syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Murabahah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
As-Salam dinamai juga As-salaf ialah suatu akad jual beli antara dua orang atau lebih dan barang yang akan dijual belum ada wujudnya tetapi ciri-ciri atau kriterianya, baik kualitas dan kuantitasnya, besar dan kecilnya, timbangannya, dan lain sebagainya telah disepakati.

No comments:

Post a Comment