PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial, manusia
tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara
pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang
lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi
kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya
berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka
memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau
melakukan kontrak. Hubungan ini
merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan
kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai
agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam
akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam makalah ini, akan mencoba
membahas hal – hal yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam islam khususnya
mengenai syirkah, mudhorobah, murobahah dan salam.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan pelaksanaan
syirkah?
2. Bagaimana pengertian dan pelaksanaan
Mudhorobah?
3. Bagaimana pengertian dan pelaksanaan
Murobahah?
4. Bagaimana pengertian dan pelaksanaan
salam ?
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang syirkah
2. Untuk mengetahui apa itu mudhorobah
3. Untuk mengetahui murobahah
4. Untuk mengetahui tentang salam
PEMBAHASAN
Syirkah, Mudharabah, Murabahah, dan Salam
Syirkah, Mudharabah, Murabahah, dan Salam
A. Syirkah
1.
Pengertian Syirkah dalam Islam
Secara bahasa, kata syirkah
(perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih hingga tidak dapat
dibedakan lagi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Menurut istilah,
pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan.
2.
Rukun dan Syarat Syirkah Secara
garis besar,
Terdapat tiga rukun syirkah sebagai berikut.
1.
Dua
belah pihak yang berakad (‘aqidani). Persyaratan orang yang melakukan akad
adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan
harta).
2.
Objek
akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun
persyaratan pekerjaan atau benda yang boleh dikelola dalam syirkah harus halal
dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan
3.
Akad
atau yang disebut juga dengan istilah shigat. Adapun syarat sah akad harus
berupa tasharruf, yaitu harus adanya aktivitas pengelolaan.
3.
Macam-Macam Syirkah
1.
Syirkah
‘Inan Syirkah ‘inan
Pengertian
Syirkah dalam Islam adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah dalam Islam
hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat. Contoh syirkah ‘inan
dapat kita cermati sebagai berikut :
Fahmi dan
Syahmi adalah sarjana-sarjana teknik informatika. Fahmi dan Syahmi bersepakat
menjalankan bisnis jasa perancangan dan pembangunan sistem informasi untuk
organisasi-organisasi pemerintahan atau swasta. Masing-masing memberikan
kontribusi modal sebesar Rp20 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah
tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang.
Sementara barang seperti rumah atau kendaraan yang menjadi fasilitas tidak
boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat
akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan yang dilakukan sebelumnya dan
kerugian ditanggung oleh masing-masing syarik (mitra usaha) berdasarkan porsi
modal. Jika masing-masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian
sebesar 50%.
2.
Syirkah
‘Abdan
Syirkah
‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa memberikan kontribusi modal (amal).
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah)
maupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah
‘amal. Contoh Syirkah ‘abdan :
Udin dan
Imam sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka
juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: Udin mendapatkan sebesar 60% dan Imam sebesar 40%. Dalam
syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian antara keduanya,
tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri atas
beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan pekerjaan yang halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya
berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan yang
telah diatur sebelumnya, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik
(mitra usaha).
3.
Syirkah
Wujuh
Syirkah
wujuh merupakan kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau
keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah
antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan adanya
pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal). Contoh Syirkah wujuh :
Andri dan
Rangga adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu Andri dan Rangga bersyirkah
wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. Andri dan
Rangga bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli.
Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara
harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujuh ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah ‘abdan.
4.
Syirkah
Mufawadhah
Syirkah
mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan
semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di atas. Syirkah mufawadhah dalam
pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti
boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya,
yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah
‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufawadhah, atau ditanggung
oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki
jika berupa syirkah wujuh. Contoh Syirkah mufawadhah :
Adha adalah pemodal, berkontribusi modal kepada
Fahmi dan Syahmi. Kemudian, Fahmi dan Syahmi juga sepakat untuk berkontribusi
modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada
Fahmi dan Syahmi. Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah
‘abdan, yaitu ketika Fahmi dan Syahmi sepakat masing-masing bersyirkah dengan
memberikan kontribusi kerja saja. Namun, ketika Adha memberikan modal kepada
Fahmi dan Syahmi, berarti di antara mereka bertiga terwujud mudharabah. Di sini
Adha sebagai pemodal, sedangkan Fahmi dan Syahmi sebagai pengelola. Ketika
Fahmi dan Syahmi sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di
samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inan di antara Fahmi dan
Syahmi. Ketika Fahmi dan Syahmi membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara
Fahmi dan Syahmi. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufawadhah.
B.
Mudharabah
Murabahah
adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul
amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib)
dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan
kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi
jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam
manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak
hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan
tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal
diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba
yang optimal.
1.
Tipe
mudharabah
a)
Mudharabah
mutlaqah, dimana shahibul
maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk
mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan
menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan
pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
b)
Mudharabah
muqayyadah, dimana
praktik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan
dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha, dan sebagainya.
2.
Keistimewaan
mudharabah
a)
Berdasarkan
prinsip berbagi hasil dan berbagi resiko.
·
Keuntungan
dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
·
Kerugian
finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh
imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
b)
Pemilik
dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.
3.
Hukum
Mudharobah dan dasar hukumnya
Akad mudharobah
dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara
pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara
pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya,
sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki
modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu,
Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal
dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan
yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini
adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:
…dan sebagian mereka berjalan di
buki mencari karunia Allah…
Dan surat al-Baqarah, 2: 198
berikut:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari
karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
Kedua ayat
di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja
sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda
Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang
dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:
Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd
al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam
perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu
jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan
tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan.
Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi.
Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada
Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani).
4.
Rukun
dan Syarat mudharabah
Terdapat
perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad
mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa rukun mudharabah adalah ijab
dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :
1.
Orang
yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )
2.
Modal,
pekerjaan, dan keuntungan
3.
Shigat
( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan
rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a.
Yang
terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan
cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan
mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat –
syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b.
Yang
terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya,
(3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab
itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan,
karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang,
tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa
wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal
mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal,
dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah,
dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah
menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal
tidak menganggu kelancaran usaha itu.
c.
Yang
terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas
dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti
setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak
jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya
apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut
ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung
sendiri oleh pemilik modal.
Atas dasar syarat – syarat di atas,
ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu
mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah fasidah ( mudharabah
yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut
ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah
kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu,
sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah
menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam
mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.
5.
Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang
dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabah
kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara
mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan
modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja
diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable. Sedangkan,
dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang
diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan barang
dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
Jika suatu akad
mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai
berikut :
1.
Modal
ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang
wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
2.
Apabila
akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama
profitable.
3.
Jika
kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan
keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik
modal tidak mendapatkan apa-apa.
C. Murabahah
1.
Pengertian
Murabahah
Apa itu
Murabahah? Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual
harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta
jumlah keuntungan yang diperoleh.
Penjualan
dapat dilakukan secara tunai atau kredit , jika secara kredit harus dipisahkan
antara keuntungan dan harga perolehan .Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang
akad , kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau
kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut akan dianggap
sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi harus dianggap
sebagai pengurang piutang
2.
Jenis Murabahah
a.
Murabahah Berdasarkan Pesanan
(Murabahah to the purcase order)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak
mengikat. Mengikat bahwa apabila telah
memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah
memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat
menerima atau membatalkan barang tersebut .
b.
Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat
tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak
sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh penjual
3.
Rukun dan
Syarat Murabahah
a.
Pengertian Rukun Murabahah
Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari
suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut
maka kegiatan terdebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis.
Menurut Jumhur
Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual (Ba'I'),orang
yang membeli(Musytari),Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.
b.
Syarat Murabahah
-
Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan
Musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa), dan mereka saling meridhai
(rela)
-
Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah
harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga
tidak termasuk dalam kategori barang haram.
-
Harga dan keuntungan harus disebutkan
begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad
resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.
4.
Dasar hukum
Murabahah
Dalam
islam,perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai
moral,sehingga semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan
tidaklah bersifat islami.
"Hai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang
batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
rela diantaramu. . . . ." (QS.4:29)
"Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba" (QS.2:275)
· Al-Hadist
Dari Abu Sa'id
Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu
harus dilakukan suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi
menurut Ibnu Hibban)
5.
Ketentuan Umum
Murabahah
a.
Jual beli murabahah harus dilakukan
atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan
penjual.
b.
Adanya kejelasan informasi mengenai
besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan
dalam jual beli..
c.
ada informasi yang jelas tentang
hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai
salah satu syarat sah murabahah
d.
dalam system murabahah, penjual boleh
menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak
pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
e.
transaksi pertama (anatara penjual dan
pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara
murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli
murabahah.[18]
D. Salam
1.
Pengertian
Salam
As-Salam dinamai juga As-salaf ialah
suatu akad jual beli antara dua orang atau lebih dan barang yang akan dijual
belum ada wujudnya tetapi ciri-ciri atau kriterianya, baik kualitas dan
kuantitasnya, besar dan kecilnya, timbangannya, dan lain sebagainya telah
disepakati. Sedang pembayarannya dilakukan pada saat terjadi transaksi.
Misalny: seperti si A memesan sebuah almari pakaian kepada si B, dengan ukuran,
kualitas kayu, warna cat, telah ditentukan. Si B menerima pesanan si A dengan
harga tertentu dan pembayarannya dilakukan oleh si A secara kontan pada saat
terjadinya transaksi.
Dengan
demikian, salam merupakan jual beli pesanan dari calon pembeli dengan
pembayaran kontan dan hutang bagi calon penjual, karena barangnya baru berupa
pesanan dan akan diserahkan sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah saw., bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَدِمَ
النَّبِيُّ . ص . م . اَلْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ نَ فِى الثِّمَارِ
السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ اَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى
كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ اِلَى اَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah
dan orang-orang (Madinah) meminjamkan buah-buahan satu tahun dan dua tahun,
maka beliau bersabda: “Bagi siapa yang meminjamkan (mengutangkan) buah-buahan,
maka hendaklah ia mengutangkan dengan takaran dan timbangan yang jelas dan
sampai batas waktu yang jelas”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas oleh para ulama dijadikan dasar kebolehan
jual beli salam.
2.
Rukun
dan syarat Salam
a.
Rukun
Salam
1)
Penjual
(muslam ‘alaih)
2)
Pembeli
(muslam atau rabbus salam)
3)
Barang
(muslam fih) dan harga atau modal (ra’sul mal)
4)
Sigat
(akad)
b.
Syarat-syarat
Salam
1)
Uang
hendaknya dibayar pada saat terjadi transaksi atau di majlis akad, berarti pembayaran
dilakukan terlebih dahulu.
2)
Barang
menjadi utang atau tanggungan penjual dan diberikan kepada pembeli sesuai
dengan kesepakatan, baik mengenai waktunya maupun tempatnya.
3)
Barang
itu hendaknya jelas kriterianya, baik ukuran, kualitas, jenis, timbangan dan
lain sebagainya sesuai dengan jenis barang yang dijual. Dengan kriteria
tersebut dapat dibedakan antara satu barang dengan barang lain, sehingga tidak
terdapat keraguan yang dapat menyebabkan perselisihan antara keduanya (penjual
dan pembeli).
3.
Hukum
Jual Beli Salam
Para ulama
sepakat bahwa jual beli salam hukumnya boleh selama rukun dan syaratnya
terpenuhi dan tidak terjadi garar (penipuan). Dasar hukum yang dijadikan
pegangan selain nas seperti telah disebutkan di atas adalah bahwa jual beli
salam mengandung unsur-unsur kemaslahatan dan hikmah yang dibutuhkan oleh
manusia.
4.
Hikmah
Salam
Diantara
hikmah jual beli salam adalah:
a.
Terpenuhinya
kebutuhan. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dengan
orang lain. Ada di antara mereka, misalnya si A mempunyai cukup uang tetapi
tidak memiliki barang yang dia perlukan. Sementara ada orang lain, misalnya si
B memiliki kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan si A namun tidak mempunyai
modal untuk mewujudkannya. Dalam keadaan seperti ini, si A memesan barang yang
ia perlukan, dan si B, dengan modal yang ia terima bekerja untuk memenuhi
permintaan si A. Dengan demikian, kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.
b.
Adanya
asas tolong-menolong. Dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing seperti digambarkan
di atas, berarti si A telah menolong si B sehingga dia bekerja dan memanfaatkan
keahliannya, si B menolong si A karena dia telah memenuhi kebutuhan si A. Asas
tolong-menolong ini merupakan cari manusia sebagai makhaluk sosial dan sangat
dianjurkan oleh agama.
BAB III
KESIMPULAN
Syirkah adalah suatu akad yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Murabahah adalah bentuk kerja sama
antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100%
modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual
harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta
jumlah keuntungan yang diperoleh.
As-Salam
dinamai juga As-salaf ialah suatu akad jual beli antara dua orang atau
lebih dan barang yang akan dijual belum ada wujudnya tetapi ciri-ciri atau
kriterianya, baik kualitas dan kuantitasnya, besar dan kecilnya, timbangannya,
dan lain sebagainya telah disepakati.
No comments:
Post a Comment