Thursday, May 7, 2020

TAREKAT RIFA'IYAH DAN SYATARIYAH



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.    Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tarekat
B.     Tarekat Rifa’iyah
1.        Tokoh dan Sejarah Berdirinya
2.        Ajaran Tarekat Rifaiyah
3.        Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah
C.    Tarekat Syathtariyah
1.         Tokoh dan Sejarah Berdirinya
2.         Ajaran Tarekat Syathtariyah
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Tasawuf yang dikembangakan sebagai pengalaman spiritual oleh para ahlinya, adalah penerapan praktis dan perilaku Islam yang sebenarnya, yaitu Islam sebagai penyerahan diri secara total kepada Tuhan semesta alam. Tasawuf menempati posisi sentral di antara tiga aspek dasar Islam: tauhid, syari’at, dan akhlak. Jika hakekat misi Islam adalah penyempurnaan akhlak dan moral, seperti dilukiskan dalam salah satu hadits Nabi Saw., pelestarian tasawuf, merupakan pelestarian Islam itu sendiri.
Untuk mendekatkan diri pada Tuhan maka harus menempuh jalan ikhtiar, salah satu jalan ikhtiar yaitu dengan mendalami lebih jauh ilmu tasawuf. Untuk mengetahui sesuatu maka pasti ada ilmunya, banyak dikalangan orang awam yang kurang mengetahui tentang ilmu mengenal Tuhan (Tarekat). pengertian tentang tarekat yaitu,Tariqah adalah khazanah kerohanian (esoterisme), dalam Islam dan sebagai salah satu pusaka keagamaan yang terpenting. Karena dapat mempengaruhi perasaan dan pikiran kaum muslimin serta memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembinaan mental beragama masyarakat. Masuknya tarekat ke Indonesia bersama dengan masuknya Islam ketika wilayah Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan melalui perdagangan dan kegiatan dakwah.
B.       Rumusan Masalah
1.      Siapa tokoh pendiri tarekat Rifa’iyah dan Syatiriyah?
2.      Bagaimana sejarah berdirinya tarekat Rifa’iyah dan Syatiriyah?
3.      Apa pokok ajaran tarekat Rifa’iyah dan Syatiriyah?
C.      Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tokoh pendiri, sejarah dan pokok ajaran tarekat Rifa’iyah dan Syatiriyah


BAB II
PEMBAHASAN


A.           Pengertian Tarekat
Asal kata “tarekat” dalam bahasa arab yaitu “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengiku tarekat) menuju Tuhn dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh seseorang untuk dapa mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.
Menurut Syekh Amin al-Khurdi tarekat ialah cara mengamalkan syaria dan menghayati inti syariat itu dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bias melalaikan pelaksanaan dan inti serta ujuan syariat.
B.            Tarekat Rifa’iyah
1.        Tokoh dan Sejarah Berdirinya
Tarekat Rifa'iyah pertama kali muncul dan berkembang luas di wilayah Irak bagian selatan, didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Beliau lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H / 1106 M. Sumber lain ada juga yang menyebukan beliau lahir pada tahun 512 H / 1118 M. Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat menulis bahwa Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah Irak bagian selatan. Ketika berusia tujuh tahun ayahnya meninggal dunia, kemudia beliau diasuh oleh pamannya Mansur al-Bathaihi, seorang syekh tarekat.
Selain berguru kepada pamannya Mansur al-Bathaihi beliau juga belajar pada pamannya Abu al-Fadl Ali al-Wasiti, terutama tentang mazhab fikih Imam Syafi'i, sehingga pada usia 21 tahun beliau telah berhasil memperoleh ijazah dan khirqah sembilan dari pamannya, sebagai pertanda telah mendapat wewenang untuk mengajar pula. John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern menuliskan bahwa garis keturunan ar-Rifa'i sampai kepada Junaid al-Baghdadi (wafat 910 M) dan Sahl al-Tustari (wafat 896 M).
Pada tahun 1145 ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk ar-Rifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.
Tarekat Rifa'iyah berbeda dengan Organisasi Kemasyarakatan Rifa'iyah yang ada di Indonesia. Ormas Rifa'iyah didirikan oleh Syekh Haji Ahmad ar-Rifa'i al-Jawi bin Muhammad bin Abi Sujak bin Sutjowijoyo, yang lahir pada 9 Muharam 1200 H / 1786 M di Desa Tempuran Kabupaten Kendal, terakhir dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Pemerintahan SBY.
Tarekat Rifa'iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting dalam pelembangan sufisme. Di bawah bimbingan ar-Rifa'i tarekat ini tumbuh subur, sehingga dalam tempo yang tidak terlalu lama tarekat ini berkembangan luas keluar Irak, di antaranya ke Mesir dan Suriah. Hal ini disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah.
Perkembangan berikutnya Tarekat Rifa'iyah sampai ke kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, Kaukasus dan wilayah Amerika Utara. Para murid Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut, alhasil jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah meningkat dengan sistem syekh turun-temurun.
Tarekat Rifa'iyah juga sampai tersebar ke Indonesia, seperti di Aceh (terutama di bagian barat dan utara), di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang berarti "tabuhan rebana" berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat Rifa'iyah sendiri.
Walaupun Tarekat Rifa'iyah terdapat di tempat-tempat lain, namun menurut Esposito tarekat ini paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Amerika Serikat. Pada akhir masa kekuasaan Turki Usmaniyah (Ottoman), Rifa’iyah merupakan tarekat penting, keanggotaannya meliputi tujuh persen dari jumlah orang yang masuk sufi di Istanbul.
2.        Ajaran Tarekat Rifaiyah
Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa'iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu minggu pada awal Muharam.
Menurut Sayyid Mahmud Abul al-Faidl al-Manufi, Tarekat Rifa'iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu:
a.              Tidak meminta sesuatu
b.             Tidak menolak
c.              Tidak menunggu
Sementara menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan ma'rifat (puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf).
Dalam pandangan Syekh ar-Rifa'i, sebagaimana diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan. Asketisme adalah langkah pertama seseorang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah dan bertawakkal kepada Allah. Menurut Syekh ar-Rifa'i "Barang siapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar". Mengenai ma'rifat Syekh ar-Rifa'i berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan terbukanya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan ma'rifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni, MA dalam tulisannya mengenai Syekh ar-Rifa'i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa'iyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema "Cinta Ilahi" yang bunyinya : "Andaikan malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan menggelora/kecewa. Tanyalah atau biarkanlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya, sementara dia dipercaya tanpa-Nya dan dia tidak terbunuh, kematian itu istirah baginya. Bahkan dia tidak dapat mati sampai bebas karenanya". Syair di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Rifa'i dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal Allah, yaitu tingkat ma'rifat.
3.        Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah
Ciri khas Tarekat Rifa'iyah terletak pada dzikirnya yang disebut dengan darwis melolong, karena dilakukan bersama-sama dengan diiringi suara gendang bertalu-talu. Dzikir itu dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, seperti berguling-guling dalam bara api, tetapi mereka tidak terbakar sedikit pun.
Menurut John L Esposito, sebagian kaum Rifa'iyah terkenal karena mengikuti praktik upacara, seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca. Hal ini menyebar bersama Tarekat Rifa'iyah sampai ke Kepulauan Melayu. Namun saat ini praktik seperti itu tidak lagi dilakukan, karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di Sumatera para pengikut Rifa'iyah ini memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan senjata tajam, diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu. Dalam bahasa Arab Dabus artinya "besi yang tajam". Christian Snouck Hurgronye dalam De Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang sering dimainkan di Sumatera ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa'iyah.
Dabus ini juga berkembang di daerah Sunda, seperti diungkapkan C.Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatera Barat kesenian dabus ini dikenal dengan sebutan TABUIK, tepatnya di daerah Padang Pariaman. Dalam Encyklopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa'iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.
C.           Tarekat Syathtariyah
1.        Tokoh dan Sejarah Berdirinya
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah, kemudian berkembang ke di wilayah Turki Usmani, yang dikenal dengan nama Bistamiyah. Selanjutnya pada abad ke-15 Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India.
Nama tarekat ini dinisbatkan kepada Abdullah Syathar (w.1429 M), tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya. Berikutnya Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dari dua ulama ini Takrekat Syathariyah diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi – tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
2.        Ajaran Tarekat Syathtariyah
Adapun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga bagian, yaitu :
a.              Ketuhanan dan hubungannya dengan alam
Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘a/am), Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
b.             Insan Kamil atau manusia ideal
Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
c.              Jalan kepada Tuhan (Tarekat)
Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.


BAB III
KESIMPULAN

Tarekat Rifa'iyah pertama kali muncul dan berkembang luas di wilayah Irak bagian selatan, didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Beliau lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H / 1106 M. Tarekat Rifa'iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting dalam pelembangan sufisme.Tarekat Rifa'iyah menyebar ke tempat-tempat lain di luar Irak, namun menurut Esposito tarekat ini paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Amerika Serikat. Tarekat Rifa'iyah mempunyai tiga ajaran dasar yaitu tidak meminta sesuatu, tidak menolak dan tidak menunggu.
Ciri khas Tarekat Rifa'iyah terletak pada dzikirnya yang disebut dengan darwis melolong, karena dilakukan bersama-sama dengan diiringi suara gendang bertalu-talu. Dzikir itu dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, seperti berguling-guling dalam bara api, tetapi mereka tidak terbakar sedikit pun. Christian Snouck Hurgronye dalam De Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang sering dimainkan di Sumatera ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa'iyah.
Tarekat Syatiriyah pada awalnya lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah, kemudian berkembang ke di wilayah Turki Usmani, yang dikenal dengan nama Bistamiyah. Selanjutnya pada abad ke-15 Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India.
Nama tarekat ini dinisbatkan kepada Abdullah Syathar (w.1429 M), tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya. Berikutnya Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dari dua ulama ini Takrekat Syathariyah diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. Adapun ajaran tarekat Syaththariyah adalah ketuhanan dan hubungannya dengan alam, Insan Kamil atau manusia ideal dan Jalan kepada Tuhan (Tarekat)






DAFTAR PUSTAKA

http://www.ponpeshamka.com/2015/11/mengenal-thariqat-tokoh-dan-ajarannya.html
http://nurhikmahnoviyanti26.blogspot.com/2016/06/tarekat.html
https://madrasahku.web.id/situs/detailmateri/48
http://mukhlissofyan.blogspot.com/2014/11/tarekat-syattaryyah.html
http://www.bacaanmadani.com/2018/03/tarekat-syattariyah-ajaran-tarekat.html
http://chokix99.blogspot.com/2014/06/makalah-tarekat.html

No comments:

Post a Comment